Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Menurunnya permintaan batubara dunia membuat kinerja ekspor melemah. Alhasil, produksi nasional sepanjang periode Januari-Agustus 2015 baru mencapai 263 juta ton atau anjlok 15,43% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dengan demikian, realisasi produksi tersebut baru mencapai 81,88% dari target yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebanyak 425 juta ton. Padahal, target penurunan produksi tahun ini hanya sebesar 7,21% dari 458 juta ton pada tahun lalu menjadi 425 juta ton.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Adhi Wibowo mengatakan kinerja ekspor sangat mempengaruhi target produksi nasional. Pasalnya, porsi ekspor mendominasi dengan kontribusi lebih dari 80%.
"Untuk ekspor sampai Agustus 2014 adalah 258 juta, sedangkan sampai Agustus 2015 adalah 2011 juta sehingga turun 18%," katanya, Senin (14/9).
Penurunan juga dialami oleh batu bara untuk kepentingan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Namun, penurunannya tidak setajam ekspor karena hanya terkoreksi 1 juta ton dari 53 juta ton pada tahun lalu menjadi 52 juta ton atau 1,89%.
Menurut Adhi, hal tersebut disebabkan situasi perekonomian global yang masih lesu. Kondisi itu membuat permintaan sulit meningkat karena beberapa negara konsumen batu bara utama mulai mengurangi impornya.
Alhasil, pasokan pun jauh melebihi permintaan yang berujung pada jatuhnya harga komoditi tersebut. Harga batu bara acuan pada bulan ini tercatat senilai US$58,21 per ton.
HBA bulan ini lebih rendah 1,57% dibandingkan dengan HBA Agustus senilai US$59,14. Adapun sejak awal 2015, HBA sudah anjlok sebesar 9,96%. "HBA memang sangat dipengaruhi oleh situasi di luar negeri dan ini yang tidak bisa dikontrol," tandasnya.
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan secara umum penurunan produksi untuk merespons rendahnya harga komoditas membuat margin keuntungan perusahaan yang masih mencetak profit menjadi tergerus.
"Sedangkan perusahaan yang marginnya negatif kerugiannya semakin besar. Kondisi tersebut memaksa banyak perusahaan memilih untuk menghentikan kegiatan usahanya," terangnya kepada KONTAN, Senin (14/9).
Mengacu hasil kajian Indonesian Mining Institute (IMI) yang dilakukan bersama APBI beberapa waktu lalu, di mana hasil simulasi kajian di kisaran harga US$ 55- US$ 65 margin negatif perusahaan tergerus sebesar 68%-72%.
"Apa yang harus dilakukan pemerintah yaitu segera merevisi peraturan dan kebijakan yg menimbulkan tambahan beban kewajiban keuangan pelaku usaha," jelasnya.
Ia mengeluhkan, ada beberapa aturan terutama terkait PNBP yang diatur oleh berbagai sektor seperti sektor kehutanan, perhubungan laut yang menambah beban usaha sehingga margin yang negatif makin tergerus.
Seperti contoh, ada beberapa aturan kewajiban PNBP terutama sektor Kehutanan yang disusun tanpa melibatkan pelaku usaha dan tidak menerapkan dasar filosofis penerapan PNBP.
"Mengenai PHK di sektor industri batubara jumlah pastinya kami kurang tahu persis karena datanya dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan di daerah. Jumlah tentunya ribuan tapi pastinya belum ada data yang akurat," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News