kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.605.000   16.000   0,62%
  • USD/IDR 16.770   -8,00   -0,05%
  • IDX 8.538   -46,87   -0,55%
  • KOMPAS100 1.181   -4,39   -0,37%
  • LQ45 845   -3,52   -0,41%
  • ISSI 305   -2,17   -0,71%
  • IDX30 436   -0,64   -0,15%
  • IDXHIDIV20 511   0,73   0,14%
  • IDX80 132   -0,80   -0,61%
  • IDXV30 138   -0,07   -0,05%
  • IDXQ30 140   0,34   0,25%

Impor Solar Swasta Dihentikan Mulai April 2026, Ruang Gerak SPBU Swasta Menyempit


Minggu, 28 Desember 2025 / 20:24 WIB
Impor Solar Swasta Dihentikan Mulai April 2026, Ruang Gerak SPBU Swasta Menyempit
ILUSTRASI. BBM Biodiesel (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID — JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kebijakan penghentian impor solar oleh badan usaha (BU) swasta yang mengoperasikan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akan berlaku penuh mulai April 2026.

Mulai periode tersebut, seluruh kebutuhan solar nasional, termasuk untuk SPBU swasta, wajib dipenuhi dari produksi kilang minyak dalam negeri atau melalui PT Pertamina (Persero).

Baca Juga: Perkuat Infrastruktur Laboratorium & Digitalisasi, DGNS Siapkan Capex Segini di 2026

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan, kapasitas kilang minyak nasional saat ini mencapai sekitar 1,18 juta barel per hari (bph), sementara kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional berada di kisaran 1,6 juta bph. Selisih kebutuhan tersebut selama ini masih dipenuhi melalui impor.

“Kapasitas kilang nasional tersebar di beberapa fasilitas, antara lain Kilang Cilacap 348.000 bph, RDMP Balikpapan 360.000 bph, Kilang Dumai 170.000 bph, Balongan 125.000 bph, Plaju 134.000 bph, serta Kilang Kasim di Sorong 10.000 bph,” ujar Yuliot kepada Kontan.co,id, Minggu (28/12/2025).

Menurutnya, seluruh kilang dapat disesuaikan (setting) produksinya berdasarkan kebutuhan nasional.

Pemerintah berharap produksi solar dan avtur ke depan dapat sepenuhnya dipenuhi dari kilang dalam negeri.

“Keseluruhan kilang bisa di-setting produksinya sesuai kebutuhan. Diharapkan kebutuhan solar dan avtur dapat terpenuhi dari kilang domestik,” tegas Yuliot.

Baca Juga: TMII Targetkan 430.000 Wisatawan Selama Libur Nataru, Naik 9% dari Tahun Lalu

Sejalan dengan kebijakan tersebut, Pertamina menyatakan kesiapan mendukung langkah pemerintah.

Pjs Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani menegaskan, Pertamina siap menyesuaikan produksi solar sesuai kebutuhan nasional.

“Produksi solar dapat kami sesuaikan dengan kebutuhan,” ujar Milla kepada Kontan.co.id.

Namun demikian, kebijakan ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha SPBU swasta.

Praktisi industri migas sekaligus Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo menilai, penghentian impor solar berpotensi mempersempit ruang gerak BU swasta di sektor hilir migas.

“Terus terang kami prihatin karena ruang gerak SPBU swasta semakin terbatas. Padahal Indonesia menganut sistem terbuka. Dalam Perpres Nomor 96 Tahun 2024, konsep penyangga energi nasional juga melibatkan peran swasta,” kata Hadi.

Baca Juga: Pertamina International Shipping (PIS) Perkuat Komitmen Keselamatan Laut

Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menciptakan kesan bahwa sumber pasokan BBM hanya berasal dari satu pintu, yakni Pertamina. Dari sisi kapasitas, Hadi mengakui kilang nasional pasca rampungnya RDMP Balikpapan mendekati 1,2 juta bph dan secara kuantitas dinilai mencukupi.

Selain itu, keberhasilan program mandatori biodiesel B40 yang berlanjut ke B50 diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan biodiesel nasional sekitar 16 juta kiloliter (KL) pada 2026.

Meski demikian, Hadi mengingatkan bahwa kecukupan kapasitas belum tentu sejalan dengan kesesuaian spesifikasi dan mutu produk bagi SPBU swasta.

“Cukup dari sisi kapasitas, tetapi belum tentu dari sisi spesifikasi dan mutu sesuai kebutuhan SPBU swasta,” ujarnya.

Ia juga menilai kebijakan yang terlalu membatasi peran swasta berpotensi kontraproduktif terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% pada akhir masa jabatan Presiden 2029, yang membutuhkan investasi ratusan miliar dolar AS.

“Jika kebijakan mengarah ke monopoli halus, itu tidak sehat bagi persaingan usaha dan iklim investasi,” tegas Hadi.

Baca Juga: Libur Nataru 2025/2026, Lalu Lintas Empat Tol Regional Nusantara Naik 7,4%




TERBARU

[X]
×