kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Permintaan Seret, Sejumlah Perusahaan Modul Surya Terancam Bangkrut


Selasa, 21 Maret 2023 / 19:05 WIB
Permintaan Seret, Sejumlah Perusahaan Modul Surya Terancam Bangkrut
ILUSTRASI. Produsen modul surya terancam bangkrut akibat seretnya permintaan modul surya lokal


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produsen modul surya yang tergabung dalam Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) terancam bangkrut akibat seretnya permintaan modul surya lokal sejak 5-6 tahun silam.

Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi), Linus Andor Mulana Sijabat mengatakan, saat ini hampir semua anggota asosiasi telah menghentikan produksinya karena tidak ada permintaan. Kondisi ini tentu mengancam kebangkrutan masal pabrikan modul surya lokal.

“Mungkin produsen modul surya yang hidup sekarang hanya tersisa satu atau dua saja. PT Sky Energy Indonesia Tbk (JSKY) masih tetap produksi untuk ekspor meski tidak banyak dan PT LEN karena usahanya tidak cuma pabrik surya jadi masih bisa bertahan,” jelasnya saat ditemui usai Media Briefing di Jakarta, Senin (21/3).

Baca Juga: Bisnis PLTS Atap Terhambat, Pelaku Usaha PLTS Ingin Ketemu Jokowi

Linus menjelaskan, saat ini total kapasitas produksi APAMSI sebesar 580 Megawatt dengan rata-rata utilisasi hanya 5% karena banyak yang tidak beroperasi. Ini sudah terjadi dari beberapa tahun lalu.

Ia bercerita, pertama kali APAMSI berinvestasi pabrik pada 2013 ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka rencana lelang kuota PLTS di 80 lokasi dengan total kapasitas 140 MWp. Kemudian pada 2015 rencana tersebut mulai berjalan  di mana telah ada tender 8 MWp PLTS. Lalu pada 2016-2017, 8 MWp PLTS tersebut berhasil beroperasi secara komersial.

“Namun setelah itu (rencana) berubah lagi karena tidak ada insentif PLTS akhirnya stagnan sampai sekarang. Masalah ini membuat pabrik berhenti produksi,” jelasnya.

Stagnannya permintaan PLTS tidak membuatnya gentar. Pada 2018 Linus mulai bergerak untuk mencari potensi pasar lain yang bisa mendukung pabrik modul surya tetap 'ngebul' melalui PLTS Atap. Namun permasalahan di PLTS Atap juga tidak mudah karena belum ada fasilitas perbankan seperti kredit yang menkover pemasangan pembangkit surya ini.

Setelah melalui proses di Kementerian ESDM, audiensi bersama Bank Himbara dan pelaku usaha hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akhirnya perbankan mulai percaya memberikan fasilitas kredit bagi pihak yang ingin memasang PLTS Atap.

Lagi-lagi masalah lain kembali dihadapi. Saat ini permintaan PLTS Atap terkendala kebijakan yang tidak mendukung. PT PLN mempersulit keluarnya izin kepada calon pelanggan yang mau memasang PLTS Atap lewat pembatasan pemasangan sebesar 15% dari kapasitas listrik terpasang hingga mempersulit izin.

“Sampai sekarang pabrik tidak bergerak nih jadi kami tetap menyuarakan ke pemerintah supaya Peraturan Menteri ESDM No 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap bisa diimplementasikan,” tegasnya.

Adapun ketika suatu saat Permen ESDM PLTS Atap akhirnya bisa berjalan, pelaku usaha tidak bisa serta-merta bisa menyalakan mesin pabriknya lalu menjual produk modul suryanya karena teknologi di pabrik saat ini sudah ketinggalan zaman.

Linus menyatakan, anggota APAMSI  sejatinya ingin memodernisasi pabrik karena mesin yang ada menggunakan teknologi 2013.

“Umumnya ketika bangun pabrik modul surya, di tahun 8 berproduksi kami sudah harus berpikir untuk melakukan modernisasi karena kalau sudah 10 tahun tidak diupgrade, teknologinya sudah pasti usang,” jelasnya.

Maka itu, pengusaha harus segera mengganti mesin baru untuk memproduksi modul surya sesuai dengan standar teknologi pasar terkini. Pasalnya, investasi yang diperlukan untuk membangun pabrik dengan teknologi baru naik dua sampai empat kali lipat dibandingkan sebelumnya.

Investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik dengan teknologi 10 tahun lalu, pengusaha hanya perlu investasi Rp 5 miliar. Sedangkan saat ini pengusaha harus menyiapkan Rp 10 miliar sampai Rp 20 miliar untuk membangun pabrik berkapasitas 100 MW pertahun.

Oleh karenanya, APAMSI berharap, potensi pengembangan PLTS Atap sebesar 3,6 GW sampai 2025 segera terealisasi. Target PLTS Atap ini dibuat Kementerian ESDM untuk mencapai rencana bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam energi primer sebesar 23% di 2025.

“Kalau marketnya sudah ada, kami bisa modernisasi pabrik yang hanya butuh 6 bulan saja untuk membangun itu,” tandasnya.

Baca Juga: Adaro Berencana Bangun PLTS di Provinsi Kepulauan Riau

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×