Reporter: Yohan Rubiyantoro,Rella Shaliha, Yudo Widiyanto | Editor: Test Test
JAKARTA. Morat-maritnya kondisi perekonomian dunia mulai membuat pemerintah pesimis. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, target pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkoreksi sekitar 0,1% hingga 0,2%. "Akibat krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), pertumbuhan ekonomi kita turun dari 6,4% menjadi 6,3%," kata Kalla, Jumat (19/9) kemarin.
Namun, Kalla menyebut dampak krisis AS buat Indonesia tak sebesar hantaman serupa buat negara-negara Eropa dan Jepang. Soalnya, tak banyak perusahaan Indonesia yang menempatkan dana mereka di industri finansial raksasa AS.
Justru perusahaan-perusahaan tersebut yang memberi kredit ke perusahaan Indonesia. "Jadi tak ada dana Indonesia yang hilang. Tapi krisis ini membuat likuiditas dunia menurun, termasuk di Indonesia," kata Kalla.
Kalla mengatakan akibat krisis keuangan di AS maka nilai ekspor Indonesia menurun, walau volumenya tetap. Perusahaan yang nilai ekspornya paling banyak terpengaruh adalah perusahaan-perusahaan komoditi seperti perusahaan kelapa sawit dan perusahaan batubara.
Senada dengan Wapres, Ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih berpendapat, koreksi pertumbuhan ekonomi ini memang tak dapat dihindari. “Dampak krisis AS buat Indonesia tak hanya melemahkan sektor keuangan, tapi juga menurunkan permintaan atas produk-produk Indonesia,” kata Sri.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Drajat Wibowo lebih pesimis lagi. Koreksi bisa membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali ke angka 6%. "Berarti kita kembali ke pertumbuhan intrinsik," kata Drajat.
Kondisi ini membuat rupiah secara otomatis akan mengalami tekanan. Di satu sisi, akibat dari terpukulnya lembaga keuangan AS, investor jadi meragukan institusi keuangan di negara kita sehingga dana-dana jangka pendek tidak akan sederas yang selama ini masuk. "Pemerintah juga bisa lebih sulit menerbitkan SUN, kalaupun laku harganya sangat mahal," jelas Drajat.
Selain itu, Drajat menyarankan pemerintah menurunkan defisit APBN menjadi 1,5% di tahun 2008, dan 1% - 1,3% di tahun 2009. Hal ini perlu agar pelaku usaha yakin pemerintah bisa mengelola APBN dan likuiditas tetap aman.