kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu


Jumat, 09 Oktober 2020 / 15:18 WIB
Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu
ILUSTRASI. Perusahaan hulu migas


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law terus mematik polemik. Kali ini aturan kontroversial datang dari klaster energi yang mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Aturan yang mendapat sorotan ialah perubahan rezim dari kontrak hulu migas menjadi Perizinan Berusaha.

Menurut pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, pengubahan rezim pengusahaan hulu migas dari Kontrak Kerja Sama (KKS) menjadi perizinan berusaha tersebut serupa dengan yang berlaku di pertambangan umum mineral dan batubara (minerba). 

"Ada sinyal yang cukup kuat dari klaster (migas) di Omnibus Law bahwa ke depan, rezim kontrak akan diubah menjadi perizinan," kata Pri saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (9/10).

Baca Juga: Liput demo tolak omnibus law, sejumlah jurnalis dianiaya polisi, AJI minta usut

Dalam UU Migas Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama. Sementara dalam Omnibus Law klaster energi-migas, Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 

Masalahnya, di Omnibus Law ini belum diatur secara jelas mengenai skema perizinan maupun pihak yang memberikan izin. Apalagi, pengaturan terkait dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) yang sebelumnya ada di Rancangan UU Omnibus Law telah dicabut, dan kelembagaan di hulu migas itu baru akan dibahas pada revisi UU Migas.

Padahal, adanya kepastian terkait kelembagaan tersebut sangat lah penting dan mendesak. Alhasil, adanya perubahan rezim kontrak menjadi perizinan, tanpa adanya kelembagaan yang pasti, menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian.

"Kelembagaan itu ada hubungannya dengan perizinan. Kalau itu dikeluarkan, arah perubahan (dari kontrak ke perizinan berusaha) menjadi tidak bisa ditebak, rancu, tidak utuh dan akhirnya tidak pasti," jelas Pri.

Menurut dia, Omnibus Law klaster migas ini tidak memberikan pengaturan yang prinsipil, sehingga sebagian besar isu-isu krusial seperti kelembagaan hulu masih harus menunggu revisi UU migas yang entah kapan akan dibahas dan disahkan.

"Ini menimbulkan ketidakpastian bagi sektor migas. Karena sebagian besar masih akan dibahas melalui revisi UU Migas yang prosesnya kita nggak tahu kapan," sambungnya.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×