kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu


Jumat, 09 Oktober 2020 / 15:18 WIB
Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu
ILUSTRASI. Perusahaan hulu migas


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

Pri menambahkan, kendati Omnibus Law mengubah rezim kontrak hulu migas menjadi perizinan berusaha, namun kontrak-kontrak yang ada sekarang tetap berlaku dan belum ada yang berubah. Sebab, pengubahan rezim pengusahaan itu tidak lah mudah dan harus terlebih dulu ada aturan yang lebih jelas baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau diatur melalui revisi UU Migas. 

"Omnibus law tidak menyebut kontrak yang sekarang ada menjadi perizinan, tidak merujuk pada itu. Secara implisit kontrak itu tetap berlaku sampai kemudian izin itu ada," ujar Pri.

Artinya, dibutuhkan pengaturan dan masa transisi dalam mengubah kontrak hulu migas menjadi perizinan berusaha. Hal tersebut serupa dengan pengaturan dalam pertambangan minerba, dari rezim kontrak (KK dan PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Pasti akan ada transisinya di situ, karena tidak mungkin juga pemerintah mengubah seketika. Dulu (di pertambangan minerba) kontrak masih ada, tapi kemudian nanti harus ada penyesuaian menjadi izin. Tapi itu kan membutuhkan pengaturan lebih lanjut," sambung Pri.

Baca Juga: Mogok nasional berakhir, KSPI akan tolak UU Cipta Kerja secara konstitusional

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah perlu segera memberikan kejelasan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau pun Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pelaksanaan Omnibus Law tersebut. Komaidi menekankan, pemerintah pun perlu membuat ketentuan peralihan dan masa transisi di dalam rezim hulu migas ini.

"Masih perlu menunggu PP dan Perpres-nya. Termasuk perlu ketentuan peralihan di dalam masa transisinya," kata Komaidi.

Secara umum, di Omnibus Law klaster energi sektor migas baik hulu maupun hilir, Komaidi melihat ada kecenderungan pengaturan pengelolaan dan pengusahaan migas semakin ketat dan terpusat. Hal tersebut tercermin dari perubahan definisi mengenai pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pengenaan sanksi dalam kegiatan usaha migas yang lebih ketat dan berat dibandingkan yang diatur dalam UU Migas.

Dihubungi terpisah, Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menilai bahwa prinsip penarikan kewenangan ke pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Presiden, justru cukup menjanjikan bagi perbaikan investasi.

Mengenai perubahan rezim kontrak menjadi perizinan di hulu migas, mantan Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) tersebut mengatakan, aturan itu mesti diperjelas melalui PP. 

Baca Juga: SPI tolak UU Cipta Kerja karena mengancam keberlangsungan petani kecil

"Omnibus law merupakan preamble untuk PP dan aturan turunannya, itu yang kita tunggu. Kita tunggu PP-nya agar semua aturannya makin jelas," kata Tumbur saat dihubungi Kontan.co,id, Jum'at (9/10).

Yang pasti, rezim izin ini diharapkan bisa lebih memberikan efektivitas dan kepastian dalam pengusahaan migas sebagai industri yang berisiko tinggi. "Kalau masa perpanjangan itu ada di PP atau kontrak PSC-nya, berarti setelah diberikan izin berusaha tidak perlu ada izin lain atau aturan lain. Karena aturan ini hanya dibuat untuk business yang high risk," pungkas Tumbur.

Selanjutnya: Omnibus Law ubah rezim kontrak hulu migas jadi perizinan, kontrak eksisting terancam

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×