Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meskipun tidak rugi, para perusahaan pertambangan batubara kakap ini berpotensi kehilangan keuntungan dari penjualan batubara yang sejatinya memakai harga pasar melalui mekanisme Harga Batubara Acuan (HBA) menjadi harga batubara yang dipatok ke dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) sebanyak 25% senilai US$ 70 per ton.
Pada Selasa (3/4), 15 perusahaan pertambangan batubara kakap yang ada di Indonesia dimintai keterangannya oleh Komisi VII DPR RI atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan berkenaan dengan penetapan pasokan batubara untuk PLN dengan harga US$ 70 per ton itu.
Seperti yang dijelaskan oleh Direktur PT Kaltim Prima Coal, Eddie J. Soebari, ia bilang pihaknya menyepakati atas adanya patokan pasokan maupun harga yang sudah ditetapkan untuk pembangkit listrik milik PLN itu.
Asal tahu saja, untuk tahun 2018 ini, KPC memproyeksikan produksi batubara mencapai 58 juta ton. Di mana 25% yang disuplai oleh KPC kepada PLN mencapai 12,7 juta ton. “Ada potensi kehilangan pendapatan sebesar kurang lebih Rp 2,5 triliun,” terangnya di Gedung DPR, Selasa (3/4).
Senada dengan itu, Direktur Utama Kideco Jaya Agung, Kurnia Ariawan mengatakan dari produksi batubara yang ditargetkan tahun 2018 sebesar 32 juta ton, 25% yang akan disuplai kepada PLN dengan harga US$ 70 per ton itu berdampak pada kehilangan keuntungan sampai Rp 1,1 triliun.
“Perhitungan kami terhadap penetapan harga US$ 70 per ton, impact ke penjualan Kideco itu kehilangan Rp 1,1 triliun pada tahun 2018,” ungkapnya.
Adapun Kurnia bilang, rata-rata dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini, Kideco jaya Agung sudah melakukan penjualan kepada PLN di atas sembila juta ton. Jadi untuk meminimalisir kehilangan pendataan itu, kata Kurnia akan melakukan efisiensi secara internal.
“Kami sebagai perusahaan Indonesia mendukung program pemerintah mengenai DMO sesuai Keputusan Menteri,” tandasnya.
CEO PT Arutmin Indonesia, Ido Hotna Hutabarat menambahkan, atas ditetapkannya DMO batubara ini, pada April 2018 ini akan kehilangan pendapatan mencapai US$ 67,7 juta. “Hitung saja sampai satu tahun ini. Itu kehilangannya,” terangnya.
Dengan kehilangan keuntungan itu, akan ada peningkatan kembali mine planning perusahaan, seperti misalnya jarak angkut antara batuan penutup bisa lebih rendah dan lain-lain seperti penggunaan bahan bakarnya yang efisienkan.
Direktur Hukum PT Berau Coal, Edy Santoso mengatakan bahwa harga US$ 70 per ton ini memang sudah merupakan Keputusan Menteri. Dimana sebagai perusahaan harus mematuhi hal itu.
“Dampak revenue dengan DMO US$ 70 per ton ini, dalam satu tahun di 2018, kami akan berkurang sekitar US$ 70 juta,” tandasnya
Sementara itu, Hendri Tamrin, Marketing Director PT Adaro Indonesia mengatakan mengenai dampaknya, pihaknya akan terus melakukan efisiensi.
“Perusahaan sendiri juga ambil bagian dalam elektrifikasi nasional. Tentu kami juga memahami kesulitan PLN, dan kami akan patuh dan bekerja sama dengan pemerintah untuk mendukung elektrifikasi ini,” tandasnya.
Asal tahu saja, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VII DPR menghadirkan, Adaro Indonesia, Arutmin Indonesia, Kaltim Prima Coal, Berau Coal, PT Bukit Asam (PTBA), PT Baramulti Suksessarana, PT Antang Gunung Meratus, PT Indominco Mandiri.
PT Trubaindo Coal Mining, PT Mahakam Sumber Jaya, PT Kideco Jaya Agung, PT Pesona Khatulistiwa Nusantar, PT Borneo Indobara (BIB), PT Mandiri Inti Perkasa, PT Insani Bara Perkasa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News