Reporter: Bernadette Christina Munthe | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kentang adalah komoditas yang mencatatkan defisit perdagangan cukup besar setelah bawang putih. Artinya, impor kentang selalu mendominasi. Soalnya, petani masih sulit mendapatkan bibit kentang kualitas atas.
Ade Rubini, Ketua Kelompok Tani Sawargi di Pangalengan, Jawa Barat, mengatakan harga bibit di tingkat petani cukup tinggi dan tak selalu ada. Ia mencontohkan, harga bibit kentang jenis granola kualitas G3 di tingkat penangkar mencapai
Rp 12.500 per kilogram (kg). Sedang kualitas G2 seharga Rp 15.000 per kg. Tapi, jika pasokan mulai minim, harga bisa melonjak Rp 4.000 per kg hingga Rp 5.000 per kg.
Ade menilai, sebenarnya petani cukup puas dengan kapasitas dan kualitas produksi bibit kentang di penangkar lokal. Untuk kualitas G3, 2 ton bibit kentang bisa menghasilkan 20 ton-25 ton kentang per hektare (ha). Untuk kualitas bibit G2, jumlah yang sama menghasilkan 25 ton-30 ton per ha.
Syaratnya, pengaturan masa tanam dan produksi petani terus dibina. "Impor bibit kentang granola kalau bisa ditutup saja dan cukup mengembangkan dari penangkar lokal. Bibit impor juga belum tentu lebih baik daripada bibit lokal," kata Ade kepada KONTAN, Rabu (21/9).
Sayang, akibat keterbatasan dana, para petani kentang cenderung memilih bibit berkualitas lebih rendah yaitu bibit G4. Harganya Rp 8.000 per kg di tingkat penangkar. Bibit ini rata-rata memproduksi 18 ton-20 ton per ha tiap panen.
Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian (Kemtan) Hasanudin Ibrahim mengakui, baru 30% petani kentang yang menggunakan bibit berkualitas baik. Dus, perdagangan kentang sayur pada tahun 2010 masih defisit senilai US$ 43.321. Angka defisit tersebut kedua tertinggi setelah bawang putih yang defisitnya senilai US$ 251.077.
Impor melejit
Pada semester I-2011, Badan Pusat Statistik mencatat impor kentang dan bibitnya mencapai US$ 16,09 juta dengan volume 24.158 ton. Angka ini sudah mendekati impor sepanjang tahun lalu yang mencapai US$ 17,06 juta dengan volume 26.929 ton.
Hasanuddin bilang, impor melejit akibat tingginya kebutuhan kentang beku di restoran. Apalagi, beberapa jenis kentang sulit tumbuh di sini.
Maka, Ditjen Hortikultura tengah mengajukan penambahan anggaran sistem perbenihan hortikultura untuk tahun anggaran 2012, sebesar Rp 155 miliar. Dana ini untuk mengembangkan penelitian dan produksi bibit kentang. "Kentang menjadi prioritas karena (impornya) cukup tinggi setelah bawang putih. Kalau bawang putih memang sulit dikembangkan karena butuh ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut (dpl). Padahal, kentang kan bisa hidup di 600 m dpl," jelas Hasanuddin, Rabu (21/9). Ia menargetkan, pada 2014, 70% petani telah menggunakan bibit berkualitas.
Selain bibit kentang jenis granola, Kemtan berniat mengembangkan jenis atlantic. Kentang atlantic umumnya menjadi bahan baku industri makanan ringan seperti keripik. Namun, bibitnya masih diimpor dari Australia.
Pengembangan bibit kentang atlantic pernah dilakukan di Puncak, Jawa Barat, tetapi kurang berhasil karena perawatan yang kurang baik. Pengembangan dalam skala kecil sedang dilakukan kembali di Garut, Jawa Barat.
Ade menambahkan, kentang atlantic cukup menarik minat petani. Soalnya, kentang ini lazim ditanam dalam program kemitraan dengan produsen makanan ringan seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Petani juga tertarik lantaran boleh membayar bibit setelah panen. Lagi pula, harga jualnya lebih tinggi. Kentang atlantic dengan produktivitas 12 ton -15 ton per ha dihargai Rp 4.900 per kg di tingkat petani. Adapun harga kentang granola Rp 4.000-Rp 4.500 per kg. "Memang perawatannya lebih sulit karena bibit atlantic tidak tahan penyakit, terutama penyakit busuk daun. Bibit yang disediakan perusahaan juga terbatas," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News