Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengkhawatirkan produksi gula tahun ini berada di bawah 2 juta ton. Hal itu disebabkan sejumlah faktor, salah satunya musim hujan yang mundur.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Soemitro Samadikoen mengatakan, selain faktor hujan yang mundur, adanya serangan hama tikus, hingga pengurangan pupuk subsidi juga turut menekan produksi gula nasional di 2020.
Soemitro menerangkan, mundurnya musim hujan akan menyebabkan masa pertumbuhan tebu berkurang. Dia menjelaskan, biasanya musim hujan dimulai pada Oktober, namun kali ini, musim hujan dimulai pada akhir Desember.
Baca Juga: APTRI dorong agar impor gula mentah dikelola BUMN
"Pertumbuhan tebu ini mundur, dulu kan pertumbuhannya di bulan Oktober, lalu panen di Mei dan Juni. Nah dengan kemunduran ini, dipanen di Mei dan Juni, saya tidak yakin akan menghasilkan tebu dengan kualitas bagus," ujar Soemitro kepada Kontan, Minggu (9/2).
Dia juga mengkhawatirkan, akan banyak pabrik tebu yang berlomba-lomba untuk melakukan penggilingan pada masa tersebut, sehingga banyak tebu yang akan ditebang dalam kondisi masih muda. Soemitro mengatakan, tebu yang masih muda memiliki rendeman yang masih kecil.
Meski begitu, Soemitro pun mengatakan, masih ada berbagai upaya yang bisa dilakukan supaya produksi gula tahun ini lebih baik.
Baca Juga: Bea masuk impor gula India diturunkan, petani tebu merasa jadi korban sawit
Pertama, Soemitro meminta agar pemerintah memberikan kepastian harga di tingkat petani. Dia berharap ketika panen tiba, harga lelang gula di tingkat petani bisa mencapai Rp 12.500 hingga Rp 13.000 per kg.
"Kami ingin petani merasakan harga yang bagus. Harapannya harga di tingkat petani bisa Rp 12.500 sampai Rp 13.000 per kg. Bila ada kepastian harga dari pemerintah, maka petani tidak berebut untuk menebang tebunya," kata Soemitro.