Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menegaskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya memperhatikan semua sisi dengan memperhatikan aspirasi juga partisipasi publik termasuk para pelaku industri saat menetapkan berbagai klausul dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Salah satu yang dinilai akan membebani adalah ketentuan mengenai kewajiban perusahaan memberikan bonus hingga 5 kali upah bagi mereka yang telah bekerja minimal 12 tahun.
PHRI menilai kewajiban ini akan memberikan beban operasional perusahaan yang sangat besar. Padahal, situasi bisnis saat ini dan ke depan masih akan sulit.
Baca Juga: Menimbang pemangkasan tarif PPh Badan dalam Omnibus Law Perpajakan
“Bonus pekerja yang dinilai sebagai pemanis (sweetener) ini arahnya ke mana? Dalam kondisi sekarang bisnis susah bersaing dan tumbuh di Indonesia karena adanya aturan upah minimum dan sebagainya,” kata Maulana dalam keterangannya, Rabu (10/6).
Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, ketentuan mengenai bonus terdapat dalam klaster ketenagakerjaan. DPR dan Pemerintah memang sepakat menunda pembahasan klaster ini. Oleh karenanya, PHRI menyarankan pemerintah dan DPR melakukan berbagai penyesuaian.
Di industri perhotelan, misalnya, komponen upah pekerja bisa mencapai 25 persen dari total beban perusahaan. Oleh karenanya, kewajiban bonus hingga 5 kali upah akan sangat membebani perusahaan, khususnya di sektor pariwisata. Demikian pula dengan sektor-sektor lain yang bersifat padat karya dengan beban operasional pekerja yang tinggi.
Dia menjelaskan, pada industri pariwisata upah atau gaji bukan tolok ukur utama dalam penghargaan terhadap pekerja. Sebab, mereka memiliki parameter lain seperti insentif pelayanan atau service.
“Hotel yang masih beroperasi itu upahnya hanya upah gaji saja, sementara service-nya bisa dua kali lipat dari gajinya. Di situ kelihatan kalau sektor ini tidak mengutamakan gaji, karena uang service itu tolak ukurnya dari pelayanan. Artinya okupansi tinggi uang service-nya juga tinggi,” katanya lagi.
Pada beberapa pelaku usaha, bonus berbasis kinerja ini juga dilakukan guna menjaga performa pelayanan.
PHRI pun meminta pemerintah dan DPR tidak hanya mengambil kebijakan populis, namun lebih mengarahkannya kepada penciptaan daya saing dan investasi.