kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.503.000   7.000   0,47%
  • USD/IDR 15.511   28,00   0,18%
  • IDX 7.760   25,02   0,32%
  • KOMPAS100 1.205   3,50   0,29%
  • LQ45 961   2,42   0,25%
  • ISSI 234   1,13   0,48%
  • IDX30 494   1,12   0,23%
  • IDXHIDIV20 593   1,74   0,29%
  • IDX80 137   0,38   0,27%
  • IDXV30 142   -0,50   -0,35%
  • IDXQ30 164   0,08   0,05%

PLN Ungkap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik EBT Masih Mahal


Minggu, 17 Desember 2023 / 15:02 WIB
PLN Ungkap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik EBT Masih Mahal


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI) mengemukakan saat ini biaya pokok penyediaan (BPP) listrik untuk energi baru terbarukan (EBT) relatif mahal sehingga membutuhkan insentif dan perhatian khusus agar harga listriknya bisa lebih terjangkau. 

PLT Direktur Operasi PLN EPI, Eko Yuniarto memaparkan, berdasarkan data PLN Group periode 2018-2022, rata-rata BPP Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) senilai Rp 430 per kilowatt hour (Kwh) atau merupakan paling rendah dibandingkan EBT lain.

Kemudian diikuti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rp 975 per KWh dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Rp 4.712 per Kwh.

Jika dilihat lebih rinci, tarif listrik EBT milik PLN sejatinya semakin turun dari tahun ke tahun. Ambil contoh harga listrik PLTS dari yang sebelumnya di 2020 senilai Rp 11.817 per Kwh, turun signifikan menjadi Rp 1.284 per Kwh di 2021. Adapun di 2022 kembali menurun menjadi Rp  1.034 per Kwh. 

Baca Juga: Harga Listrik PLTU yang Gunakan CCS Bisa Mahal, Pemerintah Masih Kaji Opsi Terbaik

Namun, jika tarif listrik PLTS dan PLTP dibandingkan pembangkit batubara, selisih harganya masih cukup jauh. Dari data PLN, rata-rata BPP PLTU periode 2018-2022 senilai Rp 705 per Kwh. 

“Secara umum pembangkit energi baru terbarukan memang tidak murah. Ini tantangan, renewable energy perlu insentif, kemudian perlu perhatian untuk BPP masih belum terjangkau secara umum untuk masyarakat melakukan pembelian,” ujarnya dalam webinar, Jumat (15/12). 

Eko menjelaskan lebih lanjut, sampai dengan September 2023, BPP PLTU (komponen C) sebesar Rp 650 per Kwh. Dia menyatakan, tarif PLTU masih relatif terjangkau dengan rata-rata jual di pelanggan PLN R1 dan R2 sekitar Rp 900 per Kwh hingga Rp 1.100 per Kwh. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan, harga listrik dari PLTU masih terjangkau karena didukung subsidi terhadap batubara berupa domestic price obligation (DPO) sebesar US$ 70 per ton untuk sektor kelistrikan. 

Baca Juga: PLN optimistis PLTA Asahan III beroperasi 2024

Berbeda cerita jika subsidi tersebut dilepas, BPP listrik PLTU akan naik signifikan karena harga batubara saat ini masih di atas US$ 140 per ton. 

“Ke depannya seharusnya subsidi ke energi fosil dikurangi. Nanti ketahuan BPP PLTU yang sebenarnya,” jelasnya dihubungi Minggu (17/12). 

Di sisi lain, Fabby menilai, umur PLTU milik PLN sudah banyak yang tua bahkan sudah di atas 20 tahun sehingga sudah balik modal. Sejumlah faktor ini yang membuat harga listrik batubara menjadi lebih kompetitif dibandingkan listrik EBT. 

Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Zulfan Zahar menyoroti harga listrik PLTA milik PLN yang murah, yakni Rp 432 per Kwh (periode 2018-2022) karena rata-rata dibangun pada tahun 80-an dan seluruh utang investasi pembangunan sudah terbayar lunas. 

“Jadi tarif PLTA milik PLN saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan operasi dan pemeliharaan saja di mana biaya operasi dan pemeliharaan PLTS memang sangat murah,” ujarnya dihubungi terpisah. 

Baca Juga: Skema Kompensasi Harga Listrik Tidak Menarik, Pengembangan Proyek PLTA Terkendala

Menurutnya, tarif listrik tentu akan berbeda dengan PLTA yang baru dibangun karena investasi awal sangatlah besar di kisaran US$ 2,5 juta per MegaWatt (MW).

Dengan besarnya biaya investasi awal ini, ditambah risiko yang dapat terjadi di masa pembangunan, maka tarif PLTA  baru tidak dapat dibandingkan dengan PLTA milik PLN. 

Terkait dengan tarif ideal untuk PLTA, Zulfan menyatakan, batas atas tarif yang sudah ditetapkan dalam Perpres 112 tahun 2022 merupakan tarif yang wajar. Angka yang tercantum dalam beleid tersebut telah mempertimbangkan masukan dari hampir seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan PLTA di Indonesia.

Dia mengingatkan, untuk mendukung upaya pemerintah mewujudkan target nol emisi melalui transisi energi, sudah seharusnya PLN menggunakan acuan tarif dalam Perpres 112 dan bukan BPP lagi. 

Baca Juga: Kembangkan PLTA, Asosiasi PLTA minta Kementerian ESDM libatkan Kementerian BUMN

Pasalnya, sampai saat ini PLN menetapkan tarif listrik yang sangat rendah, bahkan di bawah harga yang diatur dalam Perpres 112/2022 ketika melelang proyek PLTA. 

“Pemerintah juga sudah menjamin adanya subsidi bagi PLN sekiranya tarif perpres tersebut membebani keuangan PLN. Janji pemerintah tersebut ada dalam Perpress 112 pasal 24,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM) Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet

[X]
×