kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PLTS bakal didorong, kesiapan industri pemasok jadi sorotan


Senin, 21 Juni 2021 / 18:25 WIB
PLTS bakal didorong, kesiapan industri pemasok jadi sorotan
ILUSTRASI. PLTS


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu andalan pemerintah dalam mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada 2025 mendatang.

Merujuk draft Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, target penambahan kapasitas PLTS hingga 2030 mencapai 5.969 MW. Di mana berdasarkan rekapitulasi sementara ini, sebanyak 1.408 MW sudah tuntas pembahasannya dan 4.561 MW perlu didiskusikan lebih lanjut.

Dengan demikian, dari target penambahan pembangkit sebesar 40.967 MW (40,97 GW) maka PLTS bakal berkontribusi sekitar 14,57%.

Kendati demikian, upaya pemanfaatan PLTS ini dihadapkan dengan kesiapan industri pemasok komponen dalam negeri yang dinilai masih sulit memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). 

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengungkapkan upaya pemenuhan TKDN hingga 60% sesuai yang tertuang dalam Permen Perindustrian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perhitungan Kandungan Lokal dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sukar untuk dicapai.

Baca Juga: Terkuak, kapasitas PLTP di RUPTL 2021-2030 menyusut hingga 50%, ada apa?

Fabby menjelaskan, industri modul surya dalam negeri masih terbatas pada perakitan. Sejumlah komponen juga masih diimpor. Dengan kondisi terebut, Fabby menilai perlu ada relaksasi penerapan TKDN untuk modul surya dan baterai.

"Untuk modul surya, saya kira relaksasi minimal 3 tahun. Menunggu adanya industri sel surya terbangun dan beroperasi, dan permintaan modul surya dalam negeri meningkat," kata Fabby kepada Kontan.co.id, Senin (21/6).

Dia menambahkan, jika pemenuhan TKDN dipaksakan justru bisa berimbas pada tidak tercapainya pelaksanaan proyek PLTS skala besar. Di sisi lain, harga modul surya buatan dalam negeri 40% lebih tinggi ketimbang impor. Dengan demikian turut berdampak pada keekonomian proyek.

Kendati meminta relaksasi, Fabby memastikan pada saat bersamaan pemerintah perlu mendorong penciptaan demand penggunaan PLTS. Dengan demikian, upaya mendorong industri modul surya dalam negeri pun juga bisa dicapai.

"Modul surya dalam negeri punya kapasitas produksi total 500 MW tapi utilisasinya hanya 10% karena permintaan rendah," terang Fabby.

Tak hanya itu, produk modul surya dalam negeri juga disebut Fabby masih dianggap belum bankable pasalnya belum banyak teruji untuk proyek skala besar.

Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana memastikan sejumlah upaya mendorong ekosistem PLTS terus dilakukan. Salah satu upaya yakni dengan menciptakan pasar lewat rencana pengembangan kapasitas PLTS yang akan dibangun melalui kebijakan dan perencanaan.

"Bersama dengan Kemenperin melakukan fasilitasi KDN antara kebutuhan pengembang dan kesiapan industri PLTS untuk memenuhi kebutuhan," kata Dadan kepada Kontan.co.id, Senin (21/6).

Baca Juga: Segera terbit, ini isi pasal Perpres Pembelian Listrik Energi Terbarukan oleh PLN

Dadan menambahkan, peningkatan kualitas modul surya dalam negeri juga dilakukan salah satunya lewat penerbitan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2021  tentang Penerapan Standar Kualitas Modul Fotovoltaik Silikon Kristalin.

Dadan melanjutkan, Direktorat Jenderal EBTKE pun turut melakukan pendampingan kepada produsen PLTS dalam negeri untuk memenuhi ketentuan dalam beleid tersebut.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan PLTS dapat menjadi solusi dalam mencapai target tersebut. Selain itu, pengembangan PLTS dinilai dapat menciptakan industri hijau.

Arifin melanjutkan, jika tidak dilaksanakan maka  dampak berkepanjangan menimpa industri domestik, seperti diskriminasi pengenaan pajak karbon (carbon tax). Hal ini pun bukan tidak mungkin berdampak pada industri hilir nantinya.

Sebagaimana diketahui, potensi energi surya Indonesia sebesar 207,8 Giga Watt (GW) dan baru termanfaatkan sebesar 154 Mega Watt (MW). Menjadi mimpi pemerintah Indonesia membangun pasar yang menarik bagi investor terutama di sektor hulu.

"Kita harus bisa menciptakan market yang cukup signifikan untuk menarik investasi masuk di sektor hulu (panel surya). Kita ada bahan-bahan baku cukup banyak dari hulu, ini akan berikan efek lain, antara lain industri yang skala kecil bisa tumbuh besar dan UKM bisa berpartisipasi," ungkap Arifin dalam keterangan resmi, Mei lalu.

Arifin melanjutkan pihaknya tengah mencoba merancang bagaimana regulasi yang disusun selaras dengan peluang pasar yang akan diciptakan.

"Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Rancangan Peraturan Presiden harus sudah ada target pasar yang bisa menjadi daya tarik industri hulu untuk masuk," kata Arifin.

Saat ini masih terdapat isu Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam industri PLTS atau panel surya. Untuk itu, pemerintah juga akan berusaha memperbaiki regulasi terkait hal ini. 

Selanjutnya: Perkuat pasokan listrik, PLN operasikan GIS Antasari dan SKTT 150 KV

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×