Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 bakal memberikan tantangan bagi industri pertambangan batubara nasional.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengungkapkan, tantangan bakal timbul dalam kegiatan efisiensi operasional. Salah satu penyebabnya yakni usia tambang yang sudah cukup tua. "Sebagian besar produksi nasional dari tambang yang usianya sudah cukup tua. Cadangannya makin dalam sehingga beban biaya operasi semakin tinggi," kata Hendra kepada Kontan, Senin (18/4).
Hendra melanjutkan, industri batubara juga dihadapkan pada kenaikan biaya operasi seiring naiknya biaya bahan bakar dan alat berat.
Baca Juga: Kementerian ESDM Pastikan Ketentuan PNBP Produksi di PP 15 Tahun 2022 Berlaku Surut
Dari sisi perpajakan, industri batubara dihadapkan beragam tambahan beban perpajakan. Menurutunya, semakin tingginya tarif royalti menambah beban perpajakan pelaku usaha. Apalagi pelaku usaha juga ke depannya bakal dikenakan pajak karbon. "Kondisi ini dapat menyulitkan perusahaan berinvestasi di tengah era transisi energi," ujar Hendra.
Dengan demikian, kondisi ini diakui bakal memberi pengaruh pada rencana investasi untuk peningkatan nilai tambah. Terlebih, aspek keekonomian untuk proyek nilai tambah dinilai masih sulit akibat mahalnya teknologi.
Tak hanya kendala pada aspek keekonomian, Hendra menilai investasi sektor batubara juga dihadapkan pada tantangan pendanaan yang kian sulit. Menurutnya, kondisi bisa kian menyulitkan jika harga komoditas mengalami koreksi akibat tekanan pada komoditas batubara.
Apalagi, pungutan berupa Penerimaan Hasil Tambang (PHT) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah kemungkinan masih dikenakan royalti sekitar 14%. Kondisi ini bakal kian mempersulit pelaksanaan proyek peningkatan nilai tambah.
Hendra menjelaskan, pembahasan draft PP ini telah dilakukan sejak 2018 silam dengan melibatkan APBI. Pihaknya pun juga aktif memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah. "APBI juga berharap agar dapat diadakan sosialisasi bagi pelaku usaha untuk dapat lebih memahami implementasi dari PP tersebut," terang Hendra.
Hendra mengungkapkan, sebagai mitra, pihaknya menyadari keinginan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara melalui beleid terbaru. Menurutnya, usulan yang sebelumnya sempat disampaikan pelaku usaha juga diyakini bakal memberi dampak pada peningkatan penerimaan negara,
"Namun tentu saja Pemerintah mengharapkan porsi kenaikan yang lebih besar. Oleh karena itu kami beraharap Pemerintah dapat memberikan insentif bagi pelaku usaha agar bisa survive berinvestasi di era transisi energi dan tantangan yang lebih besar ke depannya," pungkas Hendra.
Baca Juga: Begini Ketentuan Tarif Berjenjang PNBP Produksi Terbaru untuk Perusahaan Batubara
Kontan mencatat, pelaku usaha mengusulkan tarif royalti progresif dengan mengacu pada index Harga Batubara Acuan (HBA). Ada empat rentang yang diusulkan. Pertama, jika harga di bawah US$ 70 per ton maka tarif royalti yang dikenakan untuk domestik sebesar 14%, begitu juga untuk ekspor.
Kedua, jika harga dalam rentang US$ 70-US$ 80 per ton, maka royalti untuk domestik diusulkan 14%, dan 16% untuk ekspor. Ketiga, saat harga US$ 80-US$ 90 per ton, royaltinya 14% untuk domestik dan 18% untuk ekspor.
Keempat, jika harga di atas US$ 90 per ton maka royalti untuk domestik dikenakan 14% dan 20% untuk ekspor. Artinya, tarif untuk pasokan domestik diusulkan flat di angka 14%, sedangkan untuk ekspor berjenjang sesuai harga hingga dari 14% hingga 20%.
Adapun, dengan simulasi tersebut akan ada peningkatan penerimaan negara sekitar 4%-7% dari IUPK hasil perpanjangan operasi PKP2B. Dibandingkan tarif royalti PKP2B sekarang yang sebesar 13,5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News