Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
Dengan kondisi ini, Meidy mendesak pemerintah untuk segera mengatur tata niaga dan harga nikel domestik supaya tidak semakin menekan penambang. Apalagi, hilirisasi tambang didominasi oleh komoditas nikel.
"Industri hilir itu mayoritasnya, 70% dipegang nikel lho. Artinya kalau kewajiban sudah bertambah, para pelaku hilirisasi sudah harus melihat keadaan, nggak mungkin dengan kontrak harga seperti ini terus," sebut Meidy.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Centre for Indonesia Resources Strategic Studies (CIRUSS) Budi Santoso. Menurutnya, perubahan jenis dan tarif royalti ini tidak bisa sertamerta menggenjot hilirisasi, bahkan dikhawatirkan membuat produk turunan mineral menjadi tidak kompentitif.
Baca Juga: Harga emas naik 0,03% di level US$ 1.463,89 per ons troi
Budi mengatakan, kebijakan ini tidak akan membebani smelter yang terintegrasi dengan tambang. Sayangnya, lanjut Budi, tidak semua tambang memiliki keekonomian untuk membangun smelter. Sementara bagi smelter yang tidak memiliki tambang akan mendapatkan beban tambahan, lantaran penambang nikel di hulu sudah terbebani biaya yang makin tinggi.
"Ketika di hulunya biayanya sudah tinggi, maka produk akhirnya akan tidak kompetitif. Padahal smelter yang nggak punya IUP (Izin Usaha Pertambangan) lebih banyak. Beban akan meningkat sebesar royalti yang dibebankan pada ore," terang Budi.
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif mengatakan, kenaikan royalti ini bisa dilihat sebagai insentif untuk mendorong hilirisasi, lantaran ada penurunan tarif royalti pada produk pengolahan atau pemurnian. Apalagi, di PP ini sudah ada penataan dan pengakategorisasian tarif maupun jenis produk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News