kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produk HPTL diklaim berbeda dengan rokok, ini penjelasannya


Kamis, 27 Mei 2021 / 18:38 WIB
Produk HPTL diklaim berbeda dengan rokok, ini penjelasannya
ILUSTRASI. A woman tries Philip Morris' IQOS 3 MULTI device after its launching event in Tokyo, Japan, October 23, 2018. REUTERS/Kim Kyung-Hoon


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

“Kalau di Eropa lebih seru lagi, produk HPTL justru jadi resep dari dokter untuk pasien yang mau berhenti merokok. Di Selandia Baru mereka punya program Bebas Asap Rokok 2025 dan untuk mendukung program itu produk HPTL menjadi salah satu solusinya. Ini kan bagus banget ya,” ujarnya.

Pada Februari 2021, Public Health England, juga telah menerbitkan laporan independen ketujuh yang merangkum bukti terbaru tentang rokok elektrik.

Pada 2020 lalu, sebanyak 27,2 % orang menggunakan rokok elektrik sebagai bantuan untuk berhenti merokok dalam kurun waktu 12 bulan dibandingkan dengan 15,5 % orang yang menggunakan terapi pengganti nikotin dan 4,4 % yang menggunakan obat varenicline.

Kendati merupakan solusi alternatif untuk berhenti merokok, Roy mengungkapkan masih banyak perokok dewasa yang belum mengetahui informasi tersebut. Untuk itu diperlukan adanya edukasi dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan terkait.

Baca Juga: Babak Baru Produk Olahan Tembakau

“Peran pemerintah dan media penting dalam mendukung upaya edukasi agar masyarakat mendapat informasi yang akurat mengenai produk ini. Inilah peran asosiasi untuk bekerja sama dengan pemerintah dan media untuk terus mensosialisasikan fakta tentang produk HPTL ke masyarakat,” katanya.

Selama ini, Roy melanjutkan, perokok dewasa mendapatkan informasi yang keliru mengenai produk HPTL. Misalnya, produk ini dianggap sama berbahayanya bagi kesehatan seperti rokok. Padahal, hasil sejumlah kajian ilmiah dari dalam dan luar negeri telah menunjukkan fakta yang sebaliknya.

“Kendala kami dalam melakukan sosialisasi adalah hoaks dan kampanye hitam, masyarakat mendapatkan dua informasi berbeda, yang salah dan yang benar. Makanya harus ada kolaborasi antara asosiasi, pemerintah, dan media,” tutup Roy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×