kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produksi CPO Tahun 2022 Mencapai 46,7 Juta Ton, Gapki: Lebih Rendah dari Tahun 2021


Rabu, 25 Januari 2023 / 18:06 WIB
Produksi CPO Tahun 2022 Mencapai 46,7 Juta Ton, Gapki: Lebih Rendah dari Tahun 2021
ILUSTRASI. Produksi CPO Tahun 2022 Mencapai 46,7 Juta Ton.


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi Crude Palm Oil (CPO) pada tahun 2022 sebesar 46,729 juta ton.Jumlah tersebut lebih rendah dari produksi tahun 2021 sebesar 46,88 juta ton.

Penurunan produksi ini merupakan tahun ke-4 yang terjadi secara berturut-turut dimana produksi CPO cenderung terus turun atau stagnan sejak kelapa sawit diusahakan secara komersial di Indonesia.

"Dibandingkan tahun 2021 produksi CPO ini (tahun 2022) turun, walaupun turunnya sedikit 0,34%. Kemudian CPKO (Crude Palm Kernel Oil) 4,5 juta ton, sehingga total palm production 51,2 juta ton," jelas Ketua Umum Gapki Joko Supriyono dalam Press Conference Gapki, Jakarta, Rabu (25/1).

Adapun konsumsi dalam negeri tahun 2022 secara total mencapai 20,96 juta ton. Capaian tersebut lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 18,422 juta ton.

Baca Juga: Soal Rencana Penetapan Harga Acuan CPO Oleh Bappebti, Begini Tanggapan Gapki

Konsumsi pasar domestik didominasi untuk industri pangan sebesar 9,941 juta ton. Dimana realisasi ini lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar 8,954 juta ton. Bahkan konsumsi untuk industri pangan tahun lalu juga lebih tinggi dari 2019 sebelum pandemi sebesar 9,86 juta ton.

Kemudian konsumsi untuk industri oleokimia tahun lalu mencapai 2,185 juta ton atau 2,8% lebih tinggi tahun 2021 sebesar 2,126 juta ton. Realisasi konsumsi CPO untuk biodiesel 2022 mencapai 8,842 juta ton. Ini lebih tinggi dari konsumsi 2021 sebesar 7,342 juta ton.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono

"Biodiesel tumbuhnya tinggi karena ini konsumsi solar meningkat pasca pandemi," imbuh Joko.

Sedangkan untuk ekspor tahun 2022 yakni sebesar 30,803 juta ton. Realisasi ini lebih rendah dari tahun 2021 sebesar 33,674 juta ton. Joko mengatakan ada penurunan ekspor tahun lalu sekitar 8,5% dibanding 2021.

Kondisi penurunan ekspor tersebut juga jadi tahun ke-4 berturut-turut dimana ekspor turun dari tahun ke tahun.

Baca Juga: Bappebti akan Bikin Harga Acuan CPO

Meski demikian, nilai ekspor tahun 2022 mencapai US$ 39,28 miliar yang berasal dari CPO, olahan dan turunannya. Nilai ekspor tersebut lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar US$ 35,5 miliar.

Kenaikan nilai ekspor disebabkan harga produk sawit tahun 2022 relatif lebih tinggi dari harga tahun 2021. Selanjutnya stok minyak sawit di dalam negeri diperkirakan mencapai 3,658 juta ton.

Pemaparan kinerja industri sawit oleh Gapki

Kinerja industri sawit nasional tahun 2022 menurutnya dipengaruhi oleh beberapa hal. Diantaranya cuaca yang ekstrim basah, lonjakan kasus Covid-19 di bulan Februari, dimulainya perang Ukraina-Rusia di bulan Februari, harga minyak nabati termasuk minyak sawit yang sangat tinggi, harga minyak bumi yang sangat tinggi.

Kemudian ditambah dengan kebijakan pelarangan ekspor produk minyak sawit oleh pemerintah 28 April hingga 23 Mei 2022. Selain itu produksi sawit nasional juga dipengaruhi oleh harga pupuk yang tinggi dan sangat rendahnya pencapaian program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Kejadian tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja industri sawit Indonesia baik dalam produksi, konsumsi, maupun ekspor.

Joko mengatakan, Program PSR yang tidak mencapai target dan pertambahan luas areal yang secara total hanya 600.000 hektar dalam 5 tahun terakhir akibat moratorium perizinan berusaha untuk kelapa sawit, menyebabkan hilangnya harapan kenaikan produksi dari tanaman-tanaman baru.

Baca Juga: Tak Perlu Buru-Buru, Proyek Hilir 21 Komoditas Harus Bergulir Selektif

Harga yang sangat tinggi juga menyebabkan penundaan replanting oleh banyak pekebun, sehingga porsi tanaman tua yang produktivitasnya lebih rendah menjadi lebih banyak.

"Kalau konteks nasional itu mestinya kalau mau masif (produksi tahun ini) sebenarnya PSR replanting petani harus sesuai dengan target yang 180.000 setahun itu itu mungkin akan signifikan menaikkan produksi," jelasnya.

Selain itu, perlu juga adanya kepastian hukum. Dimana menurutnya secara regulasi saat ini perusahaan tak bisa lagi melakukan ekspansi karena adanya moratorium. Ia berharap ke depan ada kepastian hukum mengenai masalah-masalah di industri sawit.

"Kalau no ekspansi artinya no pertambahan produksi. Kaitannya kepastian hukum itu adalah dengan penyelesaian kawasan hutan ini. Karena misal yang masuk kelompok 110 B yang tidak punya izin atau punya izin tapi di tumpang tindih di hutan konservasi itu praktis tidak bisa diperpanjang," ungkapannya.

Baca Juga: Rekomendasi Saham Indofood CBP (ICBP) yang Solid Didukung Kekuatan Harga Jual

Joko menyampaikan, kondisi yang mempengaruhi industri sawit sepanjang tahun 2022 diperkirakan masih akan mempengaruhi kinerja sawit tahun 2023. Produksi diperkirakan masih belum akan meningkat atau stagnan. 

Sementara konsumsi dalam negeri diperkirakan akan meningkat akibat penerapan kewajiban B35 mulai 1 Februari 2023.

"Kita meramal produksi tahun ini masih stagnan. Terutama yang saya dengar dari Pak Gulat (Apkasindo) harga pupuk naik jadi petani kurangi dosis pupuk, perusahaan juga kurangi nah ini dikhawatirkan akan berdampak pada (produksi) tahun ini," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×