Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) rupanya masih harus menego harga dengan produsen batubara. Padahal, pemerintah sudah mematok harga batubara untuk keperluan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) bagi pembangkit listrik. Akibatnya, biaya produksi PLN masih tinggi.
Ketentuan harga batubara DMO pembangkit yang terbit Maret itu berlaku surut sejak 1 Januari 2018. Artinya produsen harus mau dibayar sebesar US$ 70 per ton oleh PLN, bukan mengikuti harga pasar saat ini. Aturan yang dimaksud adalah melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batubara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka menyatakan, sebenarnya adanya patokan harga DMO sebesar US$ 70 per ton bisa menekan biaya produksi listrik. Ini sangat membantu, di tengah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang masih lemah. Sebelumnya, kenaikan tarif listrik setiap bulan ditentukan oleh tiga faktor, yakni, kurs, Indonesian Crude Price (ICP) dan inflasi. Saat ini kurs rupiah terhadap dollar sebesar Rp 14.200. Sementara ICP sejak April 2018 meningkat mencapai US$ 67,43 per barel
Sayangnya, kata Made, penerapan harga khusus batubara DMO belum berjalan efektif. Masih ada beberapa perusahaan batubara yang belum melakukan suplai batubara 25% mereka karena terganjal masalah harga. "Begitu ada Kepmen itu seharusnya implementasinya langsung. Ini negosiasinya belum. Ada tarik ulur," ungkap Made saat, Selasa malam (22/5).
Namun Made enggan memberitahu nama-nama perusahaan yang belum melaksanakan kewajiban itu. Dengan bergejolaknya kurs rupiah dan kenaikan harga minyak, serta bertambah alotnya negosiasi harga batubara, Made menilai biaya pokok produksi akan naik.
"Seharusnya tarif (listrik) naik lah. Harusnya tarif listrik sudah naik Tapi itu komitmen pemerintah kepada rakyat supaya perlu dijaga, agar tarif tidak naik," tandasnya.
Pada tahun 2017, biaya pokok produksi pembangkit sebesar Rp 1.025 per kWh atau US$ 0,0766 per kWh. Tahun ini menurut APBN 2018 sebesar Rp 1.280 per kWh dan pada Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PLN ditetapkan sebesar Rp 1.361 per KWh.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengklaim, perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota APBI sebagai pemasok batubara ke PLN sudah berkomitmen sesuai dengan harga yang ditetapkan dalam Kepmen.
"Saya kurang tahu kalau problemnya dari perusahaan pemasok PLN yang lain. Namun kami berkomitmen," tandasnya ke KONTAN, Rabu (23/5).
Hendra menduga, kemungkinan masih ada beberapa perusahaan yang suplai batubaranya tidak sesuai kalori pembangkit milik PLN. Makanya, masih banyak yang tertahan untuk tidak disuplai.
Langkah ini sambil menunggu kejelasan transfer kuota yang akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM. "Transfer kuota juga agak sulit. Tapi saat ini sedang dalam pembahasan dengan pemerintah," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News