kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.405.000   -9.000   -0,64%
  • USD/IDR 15.370
  • IDX 7.722   40,80   0,53%
  • KOMPAS100 1.176   5,28   0,45%
  • LQ45 950   6,41   0,68%
  • ISSI 225   0,01   0,00%
  • IDX30 481   2,75   0,57%
  • IDXHIDIV20 584   2,72   0,47%
  • IDX80 133   0,62   0,47%
  • IDXV30 138   -1,18   -0,84%
  • IDXQ30 161   0,48   0,30%

Produsen Cenderung Ekspor Biomassa Ketimbang Jual di Dalam Negeri


Selasa, 23 Juli 2024 / 20:01 WIB
Produsen Cenderung Ekspor Biomassa Ketimbang Jual di Dalam Negeri
ILUSTRASI. Pekerja melakukan pemeriksaan rutin di ruang turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Narmada, Lombok Barat, NTB, Jumat (12/7/2024). Penjabat Gubernur NTB Hassanudin mengatakan porsi energi terbarukan dalam bauran energi di NTB saat ini mencapai 22,43 persen yang terdiri dari pemanfaatan biosolar, PLTS on grid sebesar 21,6 MW dan off grid yang dioperasikan PT Amman Mineral sebanyak 28 MW, PLTMH berkapasitas 18,59 MW, substitusi bahan bakar batu bara pada PLTU dengan biomassa dan biogas skala rumah tangga. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/nym.


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah bakal terus mendorong penggunaan biomassa untuk menekan emisi karbon.Kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Meski demikian, biomassa dari kayu untuk proyek co-firing PLTU batubara ini bukan tanpa masalah. Pasalnya, kebutuhan lahan untuk produksi kayu yang masif akan menimbulkan potensi deforestasi dan konflik lahan.  Alih-alih memproduksi biomassa untuk kebutuhan dalam negeri, produsen cenderung mengekspor ke luar negeri lantaran harganya lebih menjanjikan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengakui ada kecenderungan produsen pilih ekspor biomassa.

"Memang buat produsen pelet kayu lebih menarik ekspor ke Jepang atau Korea karena harganya lebih bagus dibandingkan harga beli dalam negeri," katanya kepada KONTAN, Selasa (23/7/2024). 

Baca Juga: Ancaman Deforestasi di Balik Kebijakan Biomassa pada RPP Kebijakan Energi Nasional

Meski demikian, Fabby bilang, untuk ekspor biomassa juga tidak mudah karena harus mengikuti ketentuan buyer di negara pembeli. "Tapi tidak semua juga bisa ekspor karena ada standar-standar yang harus dipatuhi," ujarnya.

Amalya Reza, Pengkampaye Trend Asia mengungkapkan, harga biomassa yang tinggi di pasar internasional membuat produsen lebih tertarik mengekspor pelet kayu.

"Saat ini, PLN hanya mampu menawarkan harga Rp 450.000-Rp600.000 per ton pelet kayu, sedangkan Korea Selatan menawarkan harga beli hingga U$S 110 atau Rp 1,7 juta  per ton pelet kayu," paparnya.

Menurut Amalya, kayu juga merupakan bahan bakar yang tidak efisien. Pelet kayu akasia misalnya, hanya punya nilai kalori 4022,29 - 4254,91 kal/gr, di bawah kalori batu bara paling rendah (4.700 kal/gr). Artinya, berpengaruh terhadap efisiensi dan biaya pokok produksi listrik.

Meski diklaim sebagai energi bersih terbarukan, biomassa kayu sesungguhnya memiliki segudang masalah. Amalya memaparkan, dalam skala yang signifikan, kayu tidak berkelanjutan. Kayu butuh waktu 3-5 tahun untuk tumbuh dan dipanen, sementara pembakaran akan berlangsung instan. Apalagi kayu merupakan bahan bakar berkualitas rendah. 

Baca Juga: 55 Tahun Ajinomoto Terus Hadirkan Dampak Positif bagi Indonesia

"Sebagai gambaran saja, untuk memenuhi 3% saja dari kebutuhan listrik dunia, kebutuhan kayu global akan berlipat ganda. Sedangkan kebutuhan lahan yang masif menimbulkan potensi deforestasi dan konflik lahan," jelasnya.

Penelitian Trend Asia menemukan bahwa untuk memenuhi kebutuhan co-firing 10% di seluruh PLTU Indonesia, kebutuhan lahan dapat mencapai 2,3 juta hektare atau 35 kali luas DKI Jakarta. Bahkan dalam implementasi hingga saat ini, biomassa telah menimbulkan deforestasi seluas 240.622 hektare

Sejatinya, biomassa diklaim netral karbon sehingga mencegah perubahan iklim. Namun penelitian Trend Asia membantah klaim ini. Pemanfaatan biomassa di PLTU co-firing berpotensi mengakibatkan deforestasi hingga 1 juta hektare. 

Amalya menegasakan, deforestasi tersebut akan menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 26,48 juta ton emisi karbo. Walaupun tidak dihitung di sektor energi, namun emisi dari deforestasi tersebut akan terhitung di sektor FOLU (Forest and Other Land Use).

Harus Dikendalikan

Fabby pun setuju jika sumber bioenergi harus dikendalikan agar tidak memperburuk masalah deforestasi saat ini dan juga untuk mengendalikan pemulihan lahan yang sebelumnya tidak terkendali dan terbengkalai.

Misalnya, Grup Medco mengumumkan pada bulan Juni 2023 bahwa mereka akan terus melakukan deforestasi hingga 2.500 ha di Provinsi Papua untuk membangun pabrik biomassa.

Baca Juga: Catatan Masyarakat Sipil untuk Agenda Penurunan Emisi

Perusahaan ini menerima total US$ 9,4 juta “pendanaan hijau” dari PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan Dana Lingkungan Hidup Indonesia (IEF). Akibat proyek ini, warga tradisional setempat menghadapi berbagai macam  masalah, seperti kehilangan pekerjaan, kerawanan pangan, dan malnutrisi.

Hal lain yang harus dicermati adalah evaluasi potensi hilangnya penyerapan karbon hutan dan penggantian kerugian karbon dari pembukaan lahan untuk bahan baku biomassa pembangkitan listrik, terutama dari hutan tanaman energi (HTE). Pasalnya, bisa bertentangan dengan rencana Indonesia untuk mencapai penurunan bersih FOLU pada tahun 2030. 

Fabby berujar, untuk mencapai 10.2 Mt biomassa yang ditargetkan pada tahun 2025, maka dibutuhkan 0,7 juta ha HTE. "Ada kemungkinan bahwa kawasan hutan primer akan dimanfaatkan sebagai HTE yang mengurangi penyerap karbon dan lainnya pelayanan lingkungan," sebut dia.

Selanjutnya, penyediaan biomassa akan menimbulkan kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik yang ada dalam APBN 2024. Tahun ini, subsidi listrik direncanakan meningkat sebesar 7%, yang salah satunya disebabkan oleh peningkatan penggunaan bahan bakar biomassa untuk co-firing PLTU.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×