kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Produsen kabel tersengat beban harga bahan baku


Sabtu, 26 Mei 2018 / 18:25 WIB
Produsen kabel tersengat beban harga bahan baku


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lonjakan harga komoditas aluminium dan tembaga, menyebabkan margin keuntungan produsen kabel tergerus. Meskipun secara volume permintaan kabel ada kenaikan, namun kenakan harga bahan baku membuat beban produksi juga tambah tinggi.

Noval Jamalullail, Ketua Umum Asosiasi Pabrik kabel Listrik Indonesia (Apkabel) Jumat (25/5) menguraikan, harga aluminium dunia terus naik sejak 2016. Pada 2016 rerata harga aluminium masih US$ 1.500 per ton, lalu di 2017 menjadi US$ 2.000 per ton. Per April 2018 sempat menyentuh US$ 2.600 per ton.

Adapun saat ini harga aluminium masih tinggi yakni di kisaran US$ 2.300 per ton. Kondisi inilah yang membuat produsen kabel kelimpungan.

Apalagi bagi mereka yang memiliki kontrak pembelian jangka panjang. Karena mereka akan kesulitan menyesuaikan harga ke konsumen.

Selama ini penjualan kabel listrik aluminium sebagian besar didominasi oleh kontrak berjangka dari pelaksana proyek 35.000 megawatt yakni PLN. "Tentu risikonya cukup besar, apalagi saat awal tender harga dolar AS masih Rp 13.500," terang Noval.

Lonjakan harga komoditas ditambah dengan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS menjadi tantangan tambahan bagi produsen kabel. Sementara, pabrikan kabel tidak dapat menggunakan mekanisme lindung nilai atawa hedging untuk pembelian bahan baku kabel. Sebab bank enggan melakukan lindung nilai lantaran gejolak harga.

Noval mengakui selama ini fluktuasi harga bahan baku aluminium diluar prediksi para pengusaha kabel. "Jadi mereka rata-rata booking langsung, order dalam waktu pendek untuk persediaan misalnya per 3 bulan atau 6 bulan saja," urai Noval.

Sementara, PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) mengatakan bahwa fasilitas hedging di Indonesia saat ini masih belum mapan. Gabriela Lili, Direktur PT KBLI, Jumat (25/5) menyebut saat ini pihaknya masih melakukan kajian untuk mengurangi beberapa risiko akibat fluktuasi harga bahan baku dan gejolak kurs tersebut. Tujuannya agar biaya tetap seimbang.

Lili merasa mekanisme hedging memakan biaya besar. Apalagi saat kenaikan harga bahan baku yang rata-rata melonjak 23% selama periode 2016-2017.

Meski demikian KBLI masih optimistis bisnis mereka tahun ini bisa tumbuh 20% . Sedangkan untuk bottom line atawa laba bersih, diprediksi tak banyak perubahan. "Paling tidak untuk bottomline kami harapkan dapat stabil atau relatif sama dengan tahun lalu," sebut Dede Suhendra, Direktur PT KBLI ditemui di paparan publik, Jumat (25/5).

Produsen kabel yang lain seperti, PT Jembo Cable Company Tbk (JECC) mengaku optimis dalam melihat peluang bisnis di 2018 ini. Ia menilai proyek infrastruktur pemerintah masih jadi pemicu pertumbuhan bisnis.

Antonius Benady, Direktur Jembo Cable Company memprediksikan pertumbuhan bisnis di tahun ini sekitar 15%. "Bisnis kabel masih baik di tahun ini, apalagi proyek jaringan listrik 35.000 megawatt masih jalan terus," ujarnya.

Jembo juga telah menyesuaikan harga untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan baku. Meski demikian mereka belum mau membeberkan target laba bersih 2018. "Kami berharap pada pertengahan 2018 ini harga bahan baku kabel bisa lebih stabil," sebut Antonius.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×