Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja keuangan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) melambat. Pada semester pertama tahun ini, Wismilak membukukan penjualan senilai Rp 679,84 miliar. Jumlah itu menyusut 10,63% dibandingkan penjualan di periode yang sama tahun lalu senilai Rp 760,68 miliar.
Mengacu laporan keuangan yang dirilis akhir Juli, Wismilak meraih laba bersih senilai Rp 18,49 miliar, atau tumbuh 59,53% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 11,59 miliar.
Meski demikian, manajemen Wismilak menjelaskan bottom line perusahaan ini sejatinya menyusut tipis. Sebab, ada koreksi dari auditor eksternal. Direktur Marketing WIIM, Surjanto Yasaputera, menjelaskan bahwa pos yang mengalami pertumbuhan adalah laba kotor. "Sedangkan laba bersih kami sebenarnya turun sedikit. Itu ada koreksi di audit eksternal,” ungkap dia kepada Kontan.co.id, Rabu (1/8).
Dia menjelaskan, tahun lalu manajemen Wismilak melakukan efisiensi, yaitu memindahkan lokasi produksi dari Surabaya ke Bojonegoro. Namun, alokasi biayanya dicatatkan pada beban pokok penjualan, sehingga ada koreksi oleh auditor eksternal. "Jika itu dikeluarkan dari beban pokok penjualan dan dimasukkan ke bawah, maka sebetulnya tahun ini kami sedikit menurun. Jadi, itu koreksi dari audit eksternal," tutur Surjanto, yang tak menjelaskan berapa persen penurunan laba bersih Wismilak.
Hingga akhir tahun nanti, manajemen Wismilak belum akan menggelar ekspansi dan masih fokus pada produk yang sudah ada. Ia mengungkapkan, pihaknya memang ada rencana untuk meluncurkan produk baru, namun jadwal pasti peluncurannya belum ditetapkan. "Harapannya bisa tahun ini, tetapi saat ini kami fokus yang sudah ada dulu untuk meningkatkan kinerja di semester II-2018," papar Surjanto.
Soal rencana kenaikan tarif cukai, menajemen Wismilak prinsipnya mengikuti aturan main dari pemerintah. "Cukai pasti naik setiap tahun, kami mesti ikut,” ujar dia.
Namun, Surjanto mengharapkan, kenaikan tarif cukai semestinya harus memperhatikan daya beli masyarakat. Dengan kenaikan tarif cukai, maka konsumen rokok harus mengeluarkan biaya lebih mahal. Namun selama tiga tahun terakhir, ia menyebutkan, daya beli konsumen sedikit menurun. "Itu masalahnya. Jadi, seharusnya kenaikan tarif cukai harus diikuti peningkatan daya beli masyarakat," tutur Surjanto.
Sementara itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moefti, menjelaskan industri rokok terus mengalami penurunan selama dua hingga tiga tahun terakhir. Dalam periode tersebut, penjualan industri rokok menurun 2% - 3% per tahun.
Harga rokok bisa naik
Selain tertekan tarif cukai yang terus naik, menurut dia, industri rokok juga terkena imbas kebijakan lainnya. "Iklan dibatasi dan semakin banyak kawasan tanpa rokok. Hal ini membuat industri rokok semakin tertekan," ungkap Muhaimin, Senin (30/7).
Sejatinya, industri rokok menyumbang cukai ke negara sekitar Rp 150 triliun pada tahun lalu. "Ditambah PPN, pajak daerah, dan lainnya mencapai Rp 170 triliun," tukas Muhaimin.
Berdasarkan data Nielsen, kata dia, hingga semester I-2018 volume produksi industri rokok menurun 7%. "Sedangkan data Gaprindo lebih parah, karena kami rokok putih saja, yang menurun lebih dari angka itu," papar Muhaimin.
Jika pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, maka industri akan menaikkan harga jual. Rata-rata kenaikan harga rokok setara kenaikan tarif cukai. "Kenaikannya sekitar 10%," ujar Muhaimin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News