kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Realisasi produksi batubara naik 20 juta ton menjadi 548,58 juta ton tahun ini


Selasa, 19 Februari 2019 / 17:35 WIB
Realisasi produksi batubara naik 20 juta ton menjadi 548,58 juta ton tahun ini


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada kenaikan realisasi produksi batubara pada tahun 2018. Jika pada prognosa di bulan Januari realisasinya berada di angka 528 juta ton, kini tercatat terjadi pelonjakan 20 juta ton menjadi 548,58 juta ton.

Menurut Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, hal itu lantaran sejumlah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) daerah baru melaporkan realisasi produksinya. Agung bilang, jumlah itu pun masih ada kemungkinan untuk bertambah, meski tidak akan signifikan.

"548 (juta ton) adalah data yang masuk ke kami, benar 20 juta ton tambahan semuanya dari IUP daerah," kata Agung kepada Kontan.co.id, Selasa (19/2).

Realisasi produksi itu meningkat pesat dibandingkan dengan target produksi yang tertera dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2018 yang sebesar 485 juta ton. Realisasi yang melesat dari target ini terjadi setelah pemerintah pada bulan September lalu membuka kran tambahan kuota produksi sebesar 100 juta ton.

Tapi, jumlah produksi yang tinggi juga berarti melimpahnya pasokan batubara Indonesia ke pasar dunia. Akibatnya, seperti yang dikatakan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, di tengah permintaan yang lesu hal itu menimbulkan tekanan pada harga batubara.

Apalagi, realisasi Domestik Market Obligation (DMO) atau serapan batubara dalam negeri pada tahun lalu hanya menyentuh angka 115 juta ton. Sehingga, dengan asumsi sisa dari jumlah tersebut laku di pasaran, maka ekspor batubara Indonesia pada tahun lalu berada dikisaran 433 juta ton.

Sementara menurut Hendra, jumlah batubara di global thermal market tahun lalu berkisar di angka 1 miliar ton. Artinya, sekitar 40% perdagangan batubara internasional berasal dari Indonesia. "548 juta ton itu besar sekali, apalagi produksi kita berpengaruh pada supply dan harga batubara global," kata Hendra.

Asal tahu saja, tren Harga Batubara Acuan (HBA) terus turun sejak September 2018. Pada awal tahun 2019, HBA dibuka dengan angka US$ 92,41 per ton, dan pada bulan Februari, HBA kembali turun menjadi US$ 91,8 per ton.

Dalam hal ini, Hendra melihat bahwa pemerintah dan pelaku usaha batubara berada pada posisi yang dilematis. Pasalnya, pemerintah membutuhkan ekspor batubara sebagai andalan untuk mendulang devisa.

Namun, jika produksi terus digenjot, itu bisa berefek negatif terhadap pasar dan harga, yang pada gilirannya bisa merugikan pelaku usaha. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar bisa saja melakukan efisiensi, tapi bagi perusahaan berskala kecil mengerem produksi adalah langkah yang sulit, lantaran memperhitungkan investasi dan pengoptimalan kapasitas produksi.

Sehingga, lanjut Hendra, tak menutup kemungkinan bahwa realisasi produksi tahun ini akan kembali melebihi target yang telah ditetapkan. "Posisinya memang dilematis, jadi pemerintah mesti berhati-hati menyikapi target produksi," ungkap Hendra.

Sebagai informasi, pada tahun ini, target produksi batubara yang tertera pada RKAB berada di angka 489,12 juta ton. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, penentuan jumlah tersebut telah memperhitungkan pemotongan kuota produksi sebagai sanksi bagi yang tidak memenuhi kewajiban DMO pada tahun lalu.

Hanya saja, Bambang tak menampik bahwa pada tahun ini, kemungkinan untuk membuka tambahan kuota produksi tetap terbuka. Hal itu dimungkikan dengan mempertimbang sejumlah faktor, seperti laporan realisasi produksi perusahaan hingga jika dibutuhkan untuk menggenjot ekspor guna mendongkrak penerimaan negara.

Bambang bilang, hal itu baru bisa dilihat pada bulan Juni saat revisi RKAB dilakukan. "Ya kita lihat dulu nanti Juni realisasinya seperti apa. Revisi kan batasnya Juni," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×