Reporter: Muhammad Julian | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 tahun 2021 tentang Sistem PLTS Atap yang Terhubung Dengan Jaringan Pemegang IUPTLU.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana mengatakan, revisi Permen ESDM telah disusun bersama sejumlah pihak. Mulai dari pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik untuk Umum (IUPTLU), pemerintah daerah, asosiasi, Badan Usaha Pembangunan dan Pemasangan (EPC) PLTS, dan Lembaga Inspeksi Teknis (LIT) PLTS. “Diharapkan Revisi Permen ESDM dapat segera diterbitkan,” ungkap Dadan.
Menurut rencana, beleid baru bakal memuat sejumlah usulan perubahan substansi, antara lain peniadaan batasan kapasitas per pelanggan selama kuota pengembangan PLTS tersedia, penghapusan sistem ekspor listrik sebagai pengurang tagihan, dan peniadaan biaya kapasitas bagi pelanggan golongan industri.
Terkhusus pelanggan eksisting, mereka baru akan diwajibkan mengikuti Permen baru setelah berakhirnya kontrak (tercapainya payback period paling lama 10 tahun). "Kita ingin mencari cara terbaik dalam mendorong EBT, membantu proses dekarbonisasi di industri dan mengundang keterlibatan masyarakat," kata Dadan kepada Kontan, Jumat (13/1).
Rencana revisi Permen No. 26 tahun 2021 memicu kontroversi. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan, penghapusan sistem ekspor-impor listrik bisa mengubah hitung-hitungan keekonomian pemasangan PLTS atap dan mengendurkan minat adopsi PLTS atap pada segmen rumah tangga atau residensial.
Menurut Fabby, investasi pemasangan baterai atau energy storage system masih terbilang tinggi bagi segmen residensial. Biayanya bisa berkisar US$ 650 - US$ 700 per kWh untuk skala rumah tangga.
Sementara itu, pemanfaatan kelebihan listrik PLTS atap oleh konsumen menjadi tidak optimal tanpa energy storage system, sebab sistem ekspor listrik sebagai pengurang tagihan direncanakan bakal dihapus dalam beleid baru.
“Untuk pelanggan rumah tangga misalnya, kebutuhan listrik besar di malam hari. Dengan kapasitas minimum rata-rata 2-3 kWp, maka ada 40%-60% listrik yang tidak terpakai langsung. Ini yang harusnya bisa diekspor dan dipakai kembali pada waktu lain, ketika permintaan listrik naik,” terang Fabby saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (12/1).
Lebih lanjut, Fabby juga menyoroti wacana kebijakan pengembangan kapasitas PLTS atap dengan sistem kuota. Menurutnya, sistem tersebut membuka peluang terjadinya praktik suap dan korupsi, sehingga implementasi tersebut harus dilakukan secara terbuka, transparan, diawasi, dan disetujui oleh Kementerian ESDM sebagai regulator.
“AESI meminta agar pembahasan draft akhir melibatkan kami sebelum disampaikan ke Kemenkumham dan (dimintakan) persetujuan dari Presiden,” kata Fabby.
Amarangga Lubis, Founder dari SolarKita mengatakan, peniadaan skema ekspor impor akan mengurangi minat calon pelanggan PLTS atap dan bisa mematikan bisnis perusahaan rintisan (startup) PLTS atap.
Selain itu, ia juga mempertanyakan transparansi data kuota pengembangan PLTS atap per sistem. Ia khawatir, sistem tersebut bisa membuka peluang terjadinya penyelewengan apabila data kuota sistem tidak terbuka ke publik.
“Kapasitasnya sekarang dibatasi per kuota, itu juga berbahaya, karena yang menentukan kuota adalah pemegang IUPTLU. Bisa saja mereka menyatakan kuota full dan baru diperbaharui setiap 5 tahun, jadi selama 5 tahun itu tidak akan ada penambahan PLTS atap,” terang Amarangga dalam keterangan resmi.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menduga, rencana revisi Permen No. 26 Tahun 2021 bertujuan untuk mendorong pemanfaatan PLTS atap di industri tanpa membebani PLN untuk menyerap daya yang terlalu berlebih dari ekspor surplus listrik PLTS atap.
“Memang ada disinsentif untuk pelanggan rumah tangga yang memasang PLTS atap, tapi sampai hari ini pun PLTS atap dari pelanggan rumah tangga tidak terlalu banyak. Jadi kami menganggapnya positif saja, bahwa ada keseimbangan untuk tetap mendorong pemanfaatan PLTS atap di industri-industri, tetapi juga tidak membebani PLN dengan menyerap daya terlalu berlebih dari ekspor surplus listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap,” ujar Eddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News