Reporter: Benediktus Krisna Yogatama, Dityasa H Forddanta | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Bisnis tekstil tak lagi ada di era keemasan. Banyak tekanan di sektor bisnis ini, membuat pelaku bisnisnya menempuh jalan pintas.
Seperti yang dilakukan oleh PT Roda Vivatex Tbk (RDTX). Manajemen RDTX memutuskan untuk menjual peralatan produksi tekstil mereka, di pabrik yang berlokasi di Bogor Jawa Barat. Penjualan aset dilakukan karena lini bisnis tekstil RDTX terus mencetak kerugian.
Sebelum peralatan pabrik dijual, manajemen RDTX telah terlebih dahulu menghentikan produksi sejak Agustus lalu. "Kalaupun ada penjualan, itu hanya menghabiskan stok," kata Direktur Utama RDTX Wiriady Widjaja, dalam keterangan tertulis, Selasa (30/9).
Adapun peralatan produksi yang dijual berupa instalasi dan mesin produksi yang bernilai masing-masing Rp 147,07 miliar dan Rp 125,3 miliar. Selain menjual sarana pendukung pabrik, perseroan juga akan menyewakan ruang pabrik yang luasnya mencapai 124.344 meter persegi (m²).
Keputusan manajemen RDTX menjual aset pabrik tekstil ini cukup beralasan. Sebab, pada semester I–2014 lalu, kontribusi pendapatan dari bisnis tekstil hanya menyumbang 13,99% dari total pendapatan RDTX sebesar Rp 224,21 miliar.
Adapun saat ini pendapatan bisnis RDXT terbesar berasal dari bisnis properti sebesar 86,01% dengan nilai Rp 192,83 miliar. Pendapatan itu berasal dari hasil penyewaan gedung milik RDTX, yaitu: PHE Tower di Jalan TB Simatupang, Menara Bank Danamon, serta Menara Standard Chartered.
Untuk diketahui saja, RDTX mengalihkan core business dari tekstil ke properti sejak 2002 silam. Sejak saat itu, perusahaan bertahap mengurangi bisnis tekstil termasuk mengurangi jumlah tenaga kerja di pabrik tekstil. Pengalihan bisnis dilakukan karena tren penurunan pasar tekstil.
Melihat kondisi ini, Ade Sudrajat Usman, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), menjelaskan, saat ini industri tekstil di Indonesia memang tengah menghadapi tantangan berat. Setidaknya, ada tiga tantangan industri tekstil yang disampaikan Ade.
Pertama, kebijakan pemerintah menaikkan tarif tenaga listrik. Ditambah lagi saat infrastruktur listrik tidak memadai. Kedua, tingginya beban logistik termasuk infrastruktur di pelabuhan. Ketiga, aturan perdagangan internasional yang tidak mendukung industri tekstil Indonesia. "Ini yang merugikan pengusaha tekstil Indonesia," kata Ade, Selasa (30/9).
Ade menambahkan, industri tekstil yang saat ini berorientasi ekspor terkendala kebijakan bea masuk di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Tarif bea masuk tekstil dari Indonesia ke negara itu mencapai 12,5%. Akibatnya, tekstil dari Indonesia kalah bersaing dengan tekstil Tiongkok yang tidak terkena bea masuk.
Adapun di pasar dalam negeri sendiri, produk tekstil dalam negeri bersaing dengan produk impor. Ade mengindikasikan, produk impor sudah menguasai 65% pasar tekstil Indonesia yang nilainya US$ 7 miliar. Sisanya sebesar 35% baru dinikmati produsen tekstil dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News