Reporter: Fitri Nur Arifenie, Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa
Tuding menuding dan saling menyalahkan terjadi atas lonjakan harga daging sapi di pasar dalam negeri, terutama di Jabodetabek. Jika konsumen dan pengusaha ritel mengatakan kenaikan harga karena adanya pemangkasan impor, pemerintah mengatakan penyebabnya adalah harga sapi bakalan yang sudah tinggi dan adanya penolakan RPH di DKI Jakarta untuk memotong sapi-sapi lokal dari sentra produksi.
Pemangkasan kuota impor daging sapi baik langsung maupun tidak langsung telah membuat harga daging sapi meroket. Namun di sisi lain, kebijakan itu membuat peternak sapi bergairah.
Seperti diungkapkan Eko Dodi Pramono, anggota kelompok tani ternak Bangun Rejo di Bawen, Jawa Tengah dan Ngaliman Reso Sudarmo, anggota kelompok ternak sapi Sari Andhini Group di Yogyakarta. Menurut Ngaliman, harga daging sapi yang tinggi membuat peternak mampu menambah jumlah sapinya.
Jika dahulu satu peternak hanya memiliki 3 ekor hingga 5 ekor sapi, saat ini bisa memiliki 10 hingga 15 ekor sapi. "Harga di rumah pemotongan hewan (RPH) mencapai Rp 31.000 per kg. Harga daging di pasar normal Rp 70.000 kg hingga Rp 80.000 per kg tergantung kualitas daging," kata Ngaliman.
Hanya saja, alasan menaikkan pendapatan peternak tidak cukup menjelaskan mengapa pemerintah mengambil kebijakan pemangkasan kuota impor. Sebab, yang dirasakan konsumen saat ini adalah kenaikan harga daging sapi di luar batas kewajaran, bahkan di atas Rp 100.000 per kg.
Soal tingginya harga daging sapi terutama DKI Jakarta dan sekitarnya, Syukur Iwantoro, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kemtan punya analisa sendiri. Menurutnya ada dua penyebab mengapa hal itu terjadi.
Pertama, karena tingginya harga daging sapi bakalan impor yang mencapai kisaran US$ 3,05 per kg bobot hidup, sehingga di kandang feedloter harganya menjadi Rp 32.000 per kg bobot hidup. Setelah digemukkan, sapi dijual ke RPH sebesar Rp 35.000 per kg bobot hidup. "Karena itulah harga daging di lapangan bisa mencapai Rp 90.000 per kg," katanya. Apalagi di DKI Jakarta 70% pasokan daging sapi berasal dari bakalan impor.
Kedua, Syukur menuding, ada banyak RPH di Jabodetabek yang menolak sapi lokal sehingga sapi lokal dari sentra produksi sulit masuk ke DKI Jakarta. "Bukan sapi lokal yang tidak ada," katanya. Mana yang benar masih menjadi teka-teki. Menurut Syukur, pemerintah sedang melakukan penyelidikan terkait diskriminasi sapi potong di beberapa RPH.
Namun sumber KONTAN yang menjadi distributor daging sapi di Jakarta, menolak tudingan itu. "RPH kekurangan pekerjaan, ada penurunan pasokan 70%, jadi mengapa menolak," katanya. Walau populasi sapi ada di daerah banyak, namun mendapatkannya susah karena petani hanya menjual kalau butuh duit.
Yang pasti, kebutuhan konsumsi daging di Jabodetabek memang tinggi, mencapai 7,3 kg per kapita pertahun. Ini lebih tinggi dari rata-rata nasional 2,2 kg per kapita per tahun. Karena itu, peluang bisnis ini memang masih lebar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News