Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan industri manufaktur dalam negeri semakin berat seiring pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Mengutip Bloomberg, kurs rupiah berada di level Rp 16.412 per dollar AS pada penutupan perdagangan Jumat (14/6) atau melemah 0,87% dibandingkan hari sebelumnya. Angka ini sudah menyerupai level rupiah ketika krisis moneter 1998 silam, yang mana kala itu mata uang garuda pernah menyentuh level Rp 16.800 per dollar AS.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai, kurs rupiah saat ini sudah sangat sulit ditoleransi bagi para pengusaha. Selain membuat biaya produksi dan operasional makin mahal, koreksi rupiah juga berdampak pada komponen biaya lainnya seperti beban logistik, transportasi, finansial, dan lain-lain.
"Pasar domestik juga dikhawatirkan makin lesu karena konsumen menahan pembelian," kata Shinta, Selasa (18/6).
Baca Juga: Rupiah Diramal Jatuh Ke Level Rp 16.800, Akankah BI Naikkan Suku Bunga?
Meski sulit karena banyak dipengaruhi faktor eksternal, Apindo tetap meminta pemerintah aktif melakukan berbagai upaya intervensi agar laju pergerakan rupiah bisa lebih terkendali.
Gabungan Pengusaha Makanan-Minuman Indonesia (Gapmmi) menyebut. pelemahan rupiah berpotensi menggerus laba produsen makanan-minuman (mamin). Sebab, sebagian bahan baku utama produk mamin masih harus diimpor seperti kacang kedelai, susu, garam, gula, dan jagung.
Koreksi rupiah membuat harga bahan baku tersebut makin mahal, sehingga ujung-ujungnya biaya produksi mamin membengkak.
"Di tengah pelemahan rupiah, biaya pengapalan luar negeri juga naik tiga sampai empat kali lipat," ujar Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman, Selasa (18/6).
Ia melanjutkan, setiap produsen mamin memiliki pertimbangan masing-masing dalam menerapkan kebijakan penyesuaian harga. Kalaupun harga produk mamin naik, tingkat kenaikannya tidaklah besar karena daya beli masyarakat belum stabil.
Indonesia Packaging Federation (IPF) menyebut, pelemahan rupiah sangat terasa dampaknya bagi industri kemasan. Sebab, porsi impor bahan baku kemasan mencapai 50%. Alhasil, harga kemasan plastik terkerek sekitar 3% sampai 5% atau bahkan lebih.
Hal ini tentu menimbulkan efek domino ke industri pengguna kemasan seperti mamin. Kenaikan harga kemasan pun dapat menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan produsen mamin dalam menyesuaikan harga jual produk ke konsumen akhir.
"Strategi produsen kemasan hanyalah membatasi impor bahan baku sesuai dengan order yang diterima saja, sehingga risiko kerugian akibat pelemahan kurs bisa dikurangi," ungkap Business Development Director IPF Ariana Susanti, Selasa (18/6).
Industri elektronik juga kelimpungan akibat anjloknya rupiah, karena sekitar 70% komponen produk elektronik di Indonesia masih diimpor dengan transaksi dollar AS.
Gabungan Perusahaan Elektronik (Gabel) mengaku, mengerek harga jual menjadi cara paling lumrah untuk mengantisipasi pelemahan rupiah. Namun, upaya ini tidak mudah dilakukan oleh produsen elektronik lokal, karena pasar masih terdistorsi semenjak adanya revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
"Bagi kami tidak ada kurs rupiah yang ideal, yang penting bergerak stabil," imbuh Sekretaris Jenderal Gabel Daniel Suhardiman, Selasa (18/6).r
Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo) turut mengaku, tren koreksi kurs rupiah membuat ongkos produksi produk pendingin refrigerasi seperti lemari es dan air conditioner (AC) menjadi lebih mahal. Apalagi, sebagian bahan baku kedua produk tadi masih diimpor dari negara lain.r
Dengan kondisi seperti itu, pihak produsen mesti lebih menggencarkan efisiensi biaya, melakukan hedging kurs, dan memperbaiki proyeksi penjualan agar tidak terjadi kelebihan produksi.
"Jika pelemahan rupiah terus berlanjut ketika segala upaya efisiensi sudah maksimal, maka jalan akhirnya adalah menaikkan harga produk," jelas Sekretaris Jenderal Perprindo Andy Arif Widjaja, Selasa (18/6).
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Masih Tertekan Sikap Hawkish Fed Pekan Ini
Pelemahan rupiah juga mengancam industri alat berat nasional, mengingat industri ini cukup bergantung terhadap bahan baku impor dengan porsi 40%. Biaya produksi alat berat jelas akan meningkat.
"Untuk menjaga kestabilan arus kas, beberapa perusahaan akan menaikkan harga jual sekitar 1,5% sampai 3%," imbuh Ketua Umum Hinabi Giri Kus Anggoro, Selasa (18/6).
Bagi pelaku usaha alat berat, kurs rupiah yang ideal berada di kisaran Rp 14.800--Rp 15.000 per dollar AS. Para produsen alat berat pun terus mendorong peningkatan kandungan lokal hingga negosiasi transaksi dengan kurs lokal untuk mengantispasi efek pelemahan rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News