kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.501.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.700   -85,00   -0,51%
  • IDX 8.647   2,68   0,03%
  • KOMPAS100 1.194   -2,61   -0,22%
  • LQ45 847   -5,47   -0,64%
  • ISSI 309   -0,04   -0,01%
  • IDX30 437   -2,15   -0,49%
  • IDXHIDIV20 510   -4,16   -0,81%
  • IDX80 133   -0,62   -0,47%
  • IDXV30 139   0,36   0,26%
  • IDXQ30 140   -0,77   -0,54%

Petani Sawit Wanti-Wanti Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit 2026 Dampak Mandatori B50


Rabu, 31 Desember 2025 / 15:13 WIB
Petani Sawit Wanti-Wanti Kenaikan Pungutan Ekspor Sawit 2026 Dampak Mandatori B50
ILUSTRASI. POPSI menilai rencana peningkatan mandatori biodiesel dari B40 menjadi B50 berpotensi memicu kenaikan pungutan ekspor (KONTAN/Lidya Yuniartha)


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang rencana penerapan mandatori biodiesel 50% (B50), yakni campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dengan 50% minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) pada pertengahan tahun depan, Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) memperingatkan potensi kenaikan Pungutan Ekspor (PE) sawit pada 2026.

POPSI menilai rencana peningkatan mandatori biodiesel dari B40 menjadi B50 berpotensi memicu kenaikan pungutan ekspor yang pada akhirnya akan berdampak langsung terhadap ekosistem industri kelapa sawit nasional, khususnya di tingkat petani.

Ketua Umum POPSI, Mansuetus Darto, menegaskan bahwa kebijakan tersebut berisiko melemahkan daya saing sawit Indonesia di pasar global karena meningkatkan harga ekspor, termasuk komponen cost, insurance and freight (CIF).

Baca Juga: Petani Sawit Tolak Kenaikan Pungutan Ekspor untuk Biayai Biodiesel B50

"Tujuan awal dari program biodiesel itu adalah untuk mengintervensi stabilisasi pasar dan tidak bisa mendominasi hingga B50. Karena itu, mendesain kebijakan biodiesel hingga sangat dominan adalah sesuatu yang keliru," ungkap Mansuetus di Jakarta, Selasa (30/12/2025).

Ia menjelaskan, apabila kebijakan B50 tetap dipaksakan sementara sumber pendanaannya masih bertumpu pada Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), maka petani sawit akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

"Dana untuk peremajaan, produktivitas, penguatan Sumber Daya Manusia dan bantuan sarana prasarana untuk perkebunan rakyat termasuk dukungan pencapaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sesuai dengan amanat UU Perkebunan, akan terpinggirkan", tambahnya.

Saat ini, pungutan ekspor sawit berada di kisaran US$ 75–95 per ton, tergantung pada harga CPO internasional. Di sisi lain, harga biosolar berbasis sawit dinilai masih relatif tinggi sehingga memerlukan skema subsidi melalui BPDP.

"Harga Biosolar sawit sangat tinggi, itulah makanya ada dana yang dikelola BPDP untuk membayar selisih harga dengan solar impor," ungkap Mansuetus.

POPSI mengingatkan bahwa dana BPDP telah banyak terkuras. Sejumlah program untuk petani pun dilaporkan mengalami keterlambatan, bahkan dana tersebut diperkirakan akan habis pada pertengahan 2026.

Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kenaikan pungutan ekspor sawit, yang berpotensi menekan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.

Mengacu pada Studi Serikat Petani Kelapa Sawit tahun 2018 (anggota POPSI), setiap kenaikan pungutan ekspor sebesar USD 50 per ton berkontribusi terhadap penurunan harga TBS petani sekitar Rp435 per kilogram.

"Artinya, setiap tambahan beban pungutan akan langsung menggerus pendapatan petani," katanya.

Baca Juga: Kementerian ESDM Tetapkan Alokasi Biodiesel Tahun 2026 Sebanyak 15,65 Juta KL

Pandangan serupa disampaikan anggota POPSI yang juga Ketua Umum APKASINDO Perjuangan, Alvian Rahman. Ia menegaskan bahwa petani sawit kerap menjadi pihak yang menanggung dampak akhir dari kebijakan.

“Petani tidak menikmati langsung program biodiesel, tetapi selalu diminta membayar mahal melalui turunnya harga Tandan Buah Sawit (TBS). Ini ketimpangan kebijakan yang terus berulang,” tegas Alvian.

Sementara itu, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai bahwa langkah menuju B50 harus didahului evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan biodiesel sebelumnya.

Menurut Abra, rencana kenaikan ke B50 sebaiknya dilakukan setelah evaluasi atas pelaksanaan amanat Presiden No. 132 Tahun 2024.

"Kita harus memahami bahwa kondisi saat ini berbeda dibandingkan saat kebijakan sebelumnya diterapkan", ujar Abra.

Lebih lanjut, POPSI menegaskan bahwa organisasi petani tidak menolak program biodiesel. Namun, kebijakan tersebut perlu didesain ulang agar lebih adil, realistis, dan berbasis evaluasi komprehensif.

POPSI mengusulkan agar program biodiesel nasional dirancang lebih adaptif dan berkelanjutan dengan menyeimbangkan kepentingan sektor energi, fiskal, dan hulu perkebunan sawit. Salah satu opsi kebijakan yang ditawarkan adalah penerapan subsidi biodiesel yang lebih terarah, yakni hanya untuk sektor Public Service Obligation (PSO), dengan batas maksimal subsidi sekitar Rp4.000 per liter.

Pendekatan ini dinilai dapat menjaga keberlanjutan pendanaan BPDP sekaligus menghindari tekanan berlebihan terhadap harga CPO dan TBS petani ketika terjadi lonjakan harga sawit global, sehingga mekanisme pasar tetap berjalan secara sehat.

Selain itu, kebijakan bauran biodiesel diusulkan mengadopsi konsep fleksiblending, dengan B30 sebagai batas minimum. Penyesuaian tingkat pencampuran dilakukan secara dinamis mengikuti kondisi harga CPO dan minyak fosil global.

Dalam kondisi harga CPO meningkat tajam dan membebani subsidi, tingkat pencampuran dapat diturunkan ke batas minimum. Sebaliknya, saat harga CPO melemah dan harga minyak fosil naik, blending dapat dinaikkan ke B40 atau lebih tinggi untuk meningkatkan daya saing biodiesel dan penyerapan CPO domestik.

POPSI juga menekankan bahwa peningkatan bauran biodiesel perlu dikaitkan langsung dengan kinerja produksi dan produktivitas sawit nasional. Seiring peningkatan produksi CPO, misalnya menuju 50 juta ton hingga 60 juta ton per tahun, maka peningkatan bauran biodiesel dapat menjadi opsi kebijakan yang lebih rasional.

Baca Juga: Pertamina Patra Niaga Rilis BBM Biosolar Baru,Klaim Lebih Unggul dari Biodiesel Biasa

Dengan pendekatan tersebut, program biodiesel diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai instrumen transisi energi, tetapi juga menopang stabilitas sektor sawit, meningkatkan nilai tambah domestik, serta memberikan manfaat yang lebih seimbang bagi petani, industri, dan negara.

POPSI menegaskan BPDP tidak boleh menjadi satu-satunya penanggung biaya implementasi B50. Perlu ada pembagian beban yang jelas antara BPDP, negara, dan peningkatan efisiensi industri, dengan batas maksimal kontribusi BPDP agar dana petani tetap terlindungi.

"Pemerintah seringkali mengklaim bahwa keuntungan negara dari penghematan solar melalui program biodiesel sawit sebesar Rp 135 Triliun setiap tahunnya. Karena itu, sharing beban menjadi urgensi untuk diputuskan Pemerintah," tutup Mansuetus.

Sebelumnya, dalam catatan Kontan, mandatori B50 ditargetkan dapat berjalan pada paruh kedua 2026 dengan kebutuhan CPO mencapai 19 juta ton.

“Kalau alternatif yang dipakai memangkas sebagian ekspor, maka salah satu opsinya adalah mengatur antara kebutuhan dalam negeri dan luar negeri,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu.

Saat ini, B50 telah melalui tiga tahap uji coba. Namun, uji final belum dilakukan dan diperkirakan memerlukan waktu 6–8 bulan.

"Insyaallah kalau uji finalnya ini terakhir. Sekarang kan kita sudah uji 3 kali, itu kan butuh waktu sekitar 6 bulan sampai 8 bulan kita uji di mesin kapal, kereta, dan alat-alat berat," jelas Bahlil.

Selanjutnya: Boeing Raih Kontrak US$8,6 Miliar untuk Program Jet Tempur F-15 Israel

Menarik Dibaca: Ini 7 Manfaat Kesehatan Membaca Setiap Hari yang Tak Banyak Diketahui

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×