Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Supply Chain Indonesia (SCI) mendukung rencana Kementerian Perhubungan mendorong penyediaan fasilitas pendingin di kapal tol laut. Hal ini untuk mengoptimalkan muatan balik kapal yang selama ini masih tergolong rendah.
Ketersediaan fasilitas pendingin ini memungkinkan kapal memuat produk atau komoditas khusus. Penyediaan fasilitas pendingin atau penanganan reefer container di kapal merupakan salah satu upaya yang tepat untuk meningkatkan muatan balik dari kawasan timur ke kawasan barat, terutama untuk pengangkutan komoditas perikanan.
Komoditas perikanan menjadi salah satu prioritas karena potensinya yang besar di kawasan timur, yaitu sekitar 32,94% dari volume komoditas perikanan Indonesia. Potensi itu menjadi semakin besar dengan meningkatnya potensi sumber daya ikan di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), diperkirakan potensi itu sebesar 7,31 juta ton pada 2013 dan meningkat menjadi 9,93 juta ton pada 2015. "Pada 2017, diperkirakan potensi itu sebesar 12,54 juta ton, sehingga potensi di kawasan timur Indonesia sebesar 4,13 juta ton," ujar Setijadi, Chairman SCI dalam siaran pers, Minggu (15/4).
Di lain sisi, sekitar 56,7% penduduk Indonesia di Pulau Jawa dan sekitar 43% industri pengolahan ikan juga berlokasi di Pulau Jawa, sehingga sangat diperlukan upaya pengangkutan dari kawasan timur tersebut.
Dengan memperhatikan karakteristik komoditas perikanan yang mudah rusak (perishable) dan jarak angkut yang jauh, maka fasilitas pendingin atau penanganan reefer container di kapal Tol Laut menjadi keharusan.
Menurutnya, SCI mengapresiasi KKP, terutama Direktorat Logistik, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, yang memfasilitasi berbagai program pembangunan industri perikanan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan KKP adalah penentuan collecting center di salah satu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu WPP 718.
Collecting center itu bertujuan sebagai alternatif off taker bagi nelayan termasuk eks cantrang yang beroperasi di wilayah itu dan sebagai pusat konsilidasi muatan dengan menggunakan refeer containeruntuk mempertahankan mutu serta nilai ekonomi ikan hasil produksi.
Penentuan collecting center ini sangat tepat sebagai implementasi metode hub & spoke dan harus terintegrasi dengan jalur tol laut. Dalam cakupan yang lebih besar, Program tol laut harus terintegrasi dengan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) dan Program Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Keseimbangan muatan antara barat dan timur akan mengoptimalkan program tol laut. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, hal ini sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap subsidi dalam program tol laut.
Program tol laut juga harus direncanakan untuk pertumbuhan perekonomian wilayah dalam jangka panjang. Pada saat ini tol laut terutama digunakan untuk pengangkutan produk atau komoditas tertentu untuk mengurangi disparitas harga antar wilayah.
Program itu harus berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan industri di kawasan timur Indonesia. Untuk itu, perlu dipertimbangkan pengalokasian kapasitas muatan kapal tol laut bagi barang-barang modal untuk pembangunan industri, termasuk untuk industri pengolahan ikan.
"Di lain sisi, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur, seperti jalan akses, listrik, dan air bersih. Akan lebih baik lagi jika pemerintah menyediakan kawasan industri yang
terintegrasi di kawasan timur dengan fasilitas dan insentif khusus," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News