Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menyatakan maraknya perusahaan besar menggarap pembangkit panas bumi (PLTP) salah satunya karena melirik potensi bisnis yang manis dalam pelaksanaan bursa karbon.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja menyatakan sekarang sejumlah perusahaan mengapresiasi pengembangan energi baru terbarukan. Mereka juga mengantisipasi sejumlah aturan yang akan dijalankan salah satunya perdagangan bursa karbon.
“Kami melihat kaitannya dengan perusahaan geothermal ini, ternyata (perdagangan karbon) disambut dengan baik tercermin dari harga saham dari Pertamina Geothermal dan Barito naik. Jadi kalau Barito mau mengantarkan anak usahanya melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu masuk akal karena merespons hal itu,” ujarnya dalam Konferensi Pers Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 di Jakarta, Senin (18/9).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, pemerintah pasti akan memberikan kemudahan karena panas bumi ideal untuk melaksanakan perdagangan karbon.
Dalam catatan Kontan.co.id, perusahaan yang telah merasakan manisnya perdagangan karbon ialah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang berekspektasi pendapatan dari carbon credit bisa tumbuh dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.
Baca Juga: Bursa Karbon Meluncur Pada 26 September 2023, Begini Pengaturan Harganya
Sebagai gambaran, tahun lalu, anak usaha PT Pertamina (Persero) ini mengeduk pendapatan baru dari carbon credit sebesar US$ 747.000.
“Carbon credit ini sedang digalakkan,” ujar Arifin belum lama ini.
Executive Director Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Fabby Tumiwa menjelaskan, secara umum perusahaan swasta masuk ke industri panas bumi karena melihat adanya potensi bisnis sehingga berminat berinvestasi.
Fabby mengemukakan, potensi bisnis di industri ini cukup besar di mana pemerintah Indonesia menargetkan 7.000 MW atau 7 Gigawatt (GW) sampai dengan 2030.
Kemudian berdasarkan target skema pendanaan Just Energy Transition Partnersgip (JETP), Indonesia harus mencapai bauran energi bersih sebesar 34% atau setara 35 GW pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sampai 2030.
“Di sana ada target-target panas bumi dan hidro. Selain itu ada surya, angin juga. Tetapi yang fokus PLN sampai dengan 2030 ingin memperbanyak dispatchable power bukan baseload jadi listrik yang fokus dialirkan atau diutamakan ialah hidro dan panas bumi,” jelasnya.
Tidak hanya itu, semakin diliriknya industri panas bumi ini karena sudah memiliki skema penjaminan yang telah berjalan pada beberapa tahun belakangan.
Menurut Fabby, ini adalah kemajuan karena skema penjaminan, melalui insentif eksplorasi khususnya pembiayaan Geothermal Resources Risk Mitigation (GREM) serta insentif eksplorasi government drilling, bisa menjadi satu katalis yang mendorong pengembangan panas bumi.
Terlepas dari itu, sejatinya pelaku usaha panas bumi masih menilai pengembangan panas bumi belum terlalu menarik karena terganjal tarif listrik yang belum menarik. Adapun tarif listrik itu dituangkan dalam Peraturan Presiden 112 Tahun 2022.
Baca Juga: Bursa Karbon Meluncur 26 September, Ini Emiten yang Mendapat Angin Segar
Meski begitu, Fabby menyatakan, tarif listrik panas bumi yang baru saja dirilis September 2022 lalu, tidak perlu terburu-buru direvisi karena menurut ketentuannya setiap tiga tahun akan ditinjau ulang.
Menurutnya, persoalan lain yang harus diperbaiki ialah proses pengadaan atau lelang di PLN. ICEF menilai, lelang yang terjadwal itu lebih mempengaruhi keputusan pelaku usaha dan investor ketimbang tarif.
“Kalau nanti misalkan ketika PLN lelang berkali-kali harganya tidak masuk itu menurut saya menjadi bahan yang bagus untuk pemerintah mengevaluasi karena penyusunan tarif itu melalui proses panjang,” jelasnya.
Fabby menjelaskan, setiap investasi panas bumi memiliki hurdle rate atau tolak ukur dalam menentukan pengembalian minimum. Bahkan sekelas perusahaan pelat merah seperti Geo Dipa dan Pertamina Geothermal Energy juga memiliki hurdle ratenya sehingga jika tidak mendapatkan minimum pengembalian yang ditetapkan oleh komite investasinya, mereka tidak diizinkan untuk berinvestasi.
Jadi, penentuan tarif tidak semata-mata akan memenangkan hati pelaku usaha untuk mengembangkan panas bumi. Melainkan skema lelang yang selama ini banyak dikeluhkan pengembang perlu diperbaiki lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News