Reporter: Gentur Putro Jati, Nurul Kolbi | Editor: Test Test
Kegigihan Irina Amongpradja untuk terus memberikan pendidikan kepada anak-anak pemulung membuahkan hasil. Beberapa orang anak didik “Sekolah Kami” mendapat nilai tertinggi ketika diikutkan pada ujian persamaan di Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) Negeri 252.
SMPN di bilangan Jakarta Timur ini sudah sejak tiga tahun lalu membuka kelas terbuka bagi masyarakat umum. Irina tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia mendaftarkan anak didiknya mengikuti ujian persamaan. Hasilnya, “Mereka sangat memuaskan. Akhirnya kepala sekolahnya justru meminta kita untuk mendaftarkan lebih banyak lagi anak-anak pemulung karena mereka itu cerdas-cerdas. Saya sangat lega dengan kondisi itu,” katanya.
Keberhasilan itu berlanjut dengan program kerja sama. Bentuknya, SMPN 252 menyerahkan sejumlah peralatan kepada 'Sekolah Kami' untuk dimanfaatkan. Misalnya mesin jahit. Pihak sekolah setiap tahun mendapatkan alat bantu ini dari pemerintah. “Kalau disana kan peralatan itu cuma disimpan di gudang karena tidak ada tempat dan waktu untuk menggunakannya,” kata Irina. Adapun kewajiban Sekolah Kami, ia melanjutkan, menerima titipan anak-anak SMPN 252 untuk belajar menjahit. “Pagi hari belajar disini, siangnya mereka ikut kelas reguler di sekolah,” kata Irina tentang bentuk hubungan antara lembaga pendidikan informalnya dengan sekolah pemerintah.
“Sekolah Kami” berdiri pada 2006. Mulanya adalah sebuah kelompok belajar yang dibangun hasil urunan Irina dan rekan-rekan. Mereka mengumpulkan anak pemulung dan kaum dhuafa di bilangan Bintara Jaya, Bekasi Barat. Nama sekolah tersebut, cerita Irina, berasal dari mereka sendiri. “Agar ada rasa memiliki,” kata Irina, mengutip alasan para anak didik. Peserta didik rata-rata berusia antara 5 sampai 15 tahun. Proses belajar dilakukan disebuah bangunan semi permanen.
Pada perkembangan selanjutnya, Sekolah Kami tidak berhenti menjadi tempat belajar anak-anak pemulung dan dhua’afa. Irina merasa peran sekolah harus lebih dari itu. Ia ingin mengajarkan sesuatu yang praktis. Sebuah keahlian yang nantinya akan lebih berguna bagi anak-anak, ketimbang hanya sekedar mampu menguasai ilmu dasar tersebut. Dengan konsep itulah, 'Sekolah Kami' tidak menjadi sekedar rumah singgah seperti banyak dihuni oleh anak-anak jalanan di kota-kota besar.“Rumah singgah itu bagus. Tapi anak jalanan yang menjadi pengamen, oleh rumah singgah, malah dilengkapi peralatannya. Saya nggak mau seperti itu. Kalau bisa, jangan jadi pengamen lagi dong. Saya juga nggak mau anak-anak pemulung besarnya jadi pemulung” ujar Irina.
Bertolak dari pemahaman itu, Irina membuat sederet terobosan. Bersama tenaga pengajar 'Sekolah Kami' lainnya, misalnya, Irina berguru ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Di Bogor, Irina menjatuhkan pilihan untuk membuat beraneka jenis sabun. Alasannya, waktu itu belum terlalu banyak Usaha Kecil Menengah (UKM) yang fokus membuat sabun. “Pemasarannya nanti tidak akan mengalami kesulitan,” katanya. Selain sabun, Irina cs juga belajar membuat kompos, serta kertas daur ulang.
Keahlian ini dikuasai dalam waktu singkat. Sekembali dari IPB, Irina langsung mempraktekkan membuat sabun bersama sekitar 200 an anak-anak pemulung. Karena proses pengerjaannya tidak rumit, anak-anak tersebut dengan mudah bisa langsung mempraktekkan. Irina menyebut bahan utama yang diperlukan untuk membuat sabun batangan adalah minyak kelapa. Cara membuatnya, langkah pertama, minyak kelapa dikocok menggunakan mixer sampai mengembang dan berbusa. Setelah itu, kalau mau hasil akhirnya berupa sabun transparan, ditambahkan soda api. Kalau mau bentuk jadinya berupa sabun opak, ditambahkan Caustic Soda (NAOH)
Agar harum, semua bahan itu dilengkapi dengan melarutkan parfum (pewangi). Setelah bahan tercampur, tuangkan cairan tersebut ke dalam cetakan. Tidak perlu cetakan khusus. Cetakan agar-agar atau cetakan es berukuran sedang pun bisa dijadikan alas atau bahkan menggunakan pipa paralon yang sudah ditentukan ukurannya.
“Proses pembuatannya sampai keras itu paling sekitar 2 jam. Jadi dalam satu hari kita bisa bikin banyak dengan menggunakan banyak cetakan. Setelah diproduksi biasanya kita kirimkan sampel ke IPB untuk mengecek kualitas produk kita itu,” ujar Irina.
Berguru ke IPB memang mendatangkan manfaat. Sekarang, dalam waktu setengah hari, mulai pukul delapan pagi sampai dua belas siang, murid-murid 'Sekolah Kami' bisa memproduksi 50 buah sabun batang. Untuk sabun cair, entah itu untuk sabun mandi, tangan, cuci piring bisa dibuat sampai 100 botol setiap setengah harinya.
Meski memperlihatkan hasil, Irina tidak membuat target berapa item seharusnya yang bisa dibuat oleh anak-anak tersebut. Belajar tetap menjadi prioritas. Maka itu, proses mengasah keahlian hanya berlangsung pada jam-jam diluar jam sekolah. Lagipula, ia tidak secara komersil memasarkan produk buatan anak-anak didiknya dalam jumlah tertentu.
Sejauh ini, kata Irina, produk made in para pemulung itu hanya dipasarkan lewat mulut ke mulut. Atau, sesekali mengundang perkumpulan ibu-ibu yang dikenalnya, untuk rajin datang ke 'Sekolah Kami' sekaligus membeli produknya. Untuk sabun, harganya berkisar antara Rp 3.000 sampai Rp 10.000. “Kalau ada pesanan ya bisa saja dikerjakan lebih dari itu, tetapi kita kan sudah tetapkan kalau untuk praktek pembuatan itu anak-anak cuma sampai jam dua belas saja. Setelah itu mereka ada yang sekolah formal, atau ada yang kembali bekerja lagi membantu orang tuanya,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News