Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penertiban truk over dimensi dan overload (ODOL) menjadi perhatian serius sejumlah asosiasi dan pengusaha. Sebagai kalangan yang terkena langsung imbasnya, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan ini.
Menurut Wakil Ketua DPP Aptrindo, Kyatmaja Lookman, pada prinsipnya, pengusaha truk yang tergabung dalam Aptrindo mendukung penertiban ODOL tersebut. Hal itu semakin dipertegas dalam pertemuan DPP Aptrindo dengan para perwakilan DPD Aptrindo, pada Senin (13/8). “Namun, ada sejumlah catatan yang semestinya diperhatikan dan dilakukan pemerintah,” kata Kyatmaja kepada Kontan.co.id, pada Selasa (14/8).
Ia menyebut, setidaknya ada empat catatan yang dituliskan oleh Aptrindo. Yaitu mengenai aturan dan kualitas kelas jalan, daya angkut kendaraan, memfasilitasi harga angkut dengan pemilik barang, serta soal sasaran penindakan.
Mengenai kelas jalan, Kyatmaja menyebut bahwa harus ada upgrade soal kelas dan kualitas jalan. Ia mencotohkan, apabila kekuatan truk mampu mengangkut 26 ton, sedangkan kualitas jalan hanya mampu menahan 21 ton, berarti ada selisih 5 ton.
“Kalau dari contoh itu kan kita kehilangan 5 ton. Jadi kami usulkan agar ada pemetaan dan perbaikan kualitas jalan dengan kajian yang komprehensif,” terangnya.
Soal daya dan harga angkut, Kyatmaja menyebut bahwa karakteristik barang dengan berat per-kilogram, menjadi yang paling terdampak. Sebabnya adalah soal perbandingan berat dan ruang truk yang tersedia.
“Untuk barang dengan karakteristik hitungan per kilogram, itu pasti terdampak sekali. Contohnya begini, barang yang masa jenisnya berat, tapi truknya belum penuh. Maka ketika harus dikurangi muatannya, truknya jadi nggak full, nggak optimal, truk sebesar itu, muatannya sedikit,” terang Kyatmaja.
Oleh sebab itu, masih ada sejumlah sektor usaha yang keberatan. Kyatmaja menyebutkan, kelompok usaha dari jenis sawit (minyak goreng), gula rafinasi, dan pupuk menjadi contoh tiga jenis usaha dari yang masih berkeberatan.
“Sawit-minyak goreng sebagai bahan pokok, gula rafinasi dan pupuk sebagai bahan penting. Toleransi 50% dinilai belum cukup. Namun sebaiknya, kita bedah dulu ongkos transpor ke harga barangnya seberapa signifikan,” ujarnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah menerapkan kebijakan penurunan muatan bagi kendaraan barang yang melebihi 100% dari ketentuan atau ODOL ini pada 1 Agustus lalu. Dalam catatan KONTAN, merujuk pada keterangan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, saat ini pihaknya masih memberikan toleransi bagi kendaraan dengan muatan berlebih 40%-50% dari aturan yang ada. Misalnya, komoditi semen diberi toleransi 40%, dan logistik sembako 50%.
Kebijakan ODOL ini pun baru berlaku di tiga Unit Pelaksana Pengujian Kendaraan Bermotor (UPPKB) jembatan timbang yang menjadi pilot project. Yakni UPPKB Balonggandu Karawang, UPPKB Losarang Indramayu, dan UPPKB Widang Tuban. “Jadi sebenarnya tidak perlu khawatir. Tapi temen-temen memang harus mempersiapkan diri,” imbuh Kytmaja.
Soal sasaran penindakan, para pengusaha truk ini mengajukan keluhan. Pasalnya, yang menjadi sasaran lebih ditekankan pada angkutan truk, dibandingkan dengan pengusaha pemilik barang.
“Maunya, penindakan angkutan jangan cuma di pengusaha truknya, tapi di pengusaha pemilik barangnya juga. Diawasi, jadi truknya nggak perlu melanggar. Kalau untuk overdimensi, kami masih galau. Kalau harus dilakukan pemotongan truk, itu memakan waktu dan biaya. Siapa yang akan tanggung? Sedangkan truknya kan kami beli sudah seperti itu barangnya,” tandas Kyatmaja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News