kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Soal TBIG di MRT Jakarta, BRTI : Secara B2B harus saling menguntungkan


Senin, 25 Maret 2019 / 20:26 WIB
Soal TBIG di MRT Jakarta, BRTI : Secara B2B harus saling menguntungkan


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Badan Regulasi Telekomunikasi (BRTI) menilai bahwa selama harga yang ditawarkan sesuai, maka operator telekomunikasi tidak akan keberatan. Sebelumnya, asal tahu saja bahwa PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) keluar sebagai pemenang tender untuk menyediakan layanan telekomunikasi bagi pengguna MRT Jakarta.

Adapun berdasarkan dokumen minute of meeting yang diterima Kontan.co.id, harga yang ditawarkan di tahun pertama dan kedua untuk full service sekitar Rp 4,5 miliar hingga Rp 5 miliar. Sedangkan untuk tahun kedua, Rp 6 miliar hingga Rp 6,5 miliar dan tahun ketiga sebesar Rp 7,5 miliar hingga Rp 8 miliar.

Agung Harsoyo, Komisioner BRTI menyebutkan bahwa tentunya dalam skema bisnis telah diperhitungkan sebelumnya. "Seluruh operator itu entitas bisnis. Entitas bisnis itu soal hitung-hitungan pasti sudah matang, kalau mereka mengatakan terlalu mahal berarti terlalu mahal, kalau tidak berarti tidak," ujarnya saat dihubungi kontan.co.id, Minggu (24/3).

Agung menyebutkan kembali bahwa secara normatif, ketika suatu hal terkait layanan umum maka pertimbangannya harus layanan umum pula. Oleh sebab itu, seharusnya dibikin semurah mungkin.

Sedangkan secara teknologi bahwa orang yang berada di sepanjang jalan dari Thamrin, Sudirman dan seterusnya disebutnya selama ini yang menghasilkan traffic bagi operator. "Nah, saat beralih ke moda lain seperti MRT pada prinsipnya tidak menambah traffic, jadi selayaknya dibicarakan dengan operator bersama-sama," tuturnya.

Oleh sebab itu, ia menilai bahwa seharunya ada hitungannya. Ia pun menduga bahwa itu urusannya infrastruktur yang sudah dipasang seperti kabel, listrik, ruangan, elemen pasif jaringan, dan lainnya.

Secara bisnis itu sendiri, ia melihat bahwa operator tentunya sudah memiliki hitungan. Agung mencotohkan apabila operator melayani dari Ratu Plaza sampai HI itu kira-kira 5 menit, dan melihat berapa megabyte untuk download dan upload sehingga kira-kira per hari bisa menghasilkan traffic berapa dan tentunya operator akan melihat dari sisi berapa orang di sana, berapa basis pelanggannya di sana, dan lainnya.

"Secara pribadi saya tidak mengerti terkait harga, tetapi mudahnya untuk download 12 gigabyte ambil harga mudahnya Rp 100.000, apakah mungkin dalam 5 menit transaksi segitu? Kemudian rata-rata pelanggan yang on berapa? itu kan bisa dihitung," jelasnya.

Oleh sebab itu, ia menduga saat itu masuk operator akan masuk, tapi sebaliknya jika tidak masuk maka tidak. Sedangkan untuk regulasi yang mengatur sendiri, Agung bilang memang tidak ada dan yang terjadi di MRT ada pengelolanya sehingga sifatnya B2B yang mana lazimnya saling menguntungkan.

"Hal tersebut mengacu pada nilai investasi yang digelar di sana berapa, kemudian untuk bisa BEP misalkan 10 tahun, bagaimana cara mengembalikannya? Kemudian saya dengar ada pihak ketiga juga, tidak langsung dengan MRT-nya. MRT mentender sesuatu ke entitas tertentu, sedangkan ujungnya itu akan berkaitan dengan operator selular. Mestinya saat tender kan ada ancer-ancer perhitungannya berapa per bulan, nanti penghasilan yang melakukan investasi sekian, untuk MRT sekian, itu mestinya kan dilibatkan semua," ujarnya.

Dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sendiri hingga berita ini belum mendapatkan respon balik dari pesan singkat yang dikirimkan. Terkait harga, dari pihak TBIG juga belum merespon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×