Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) belum senada perihal kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Perubahan kebijakan TKDN yang lebih fleksibel dinilai cukup mendesak oleh Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR RI dalam mengakselarasi pengembangan EBT di dalam negeri.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menjelaskan, secara substansi aturan TKDN yakni mengutamakan produk dalam negeri sudah disetujui. Hanya saja secara kondisi di lapangan, banyak proyek strategis di sektor energi dan ketenagalistrikan terkendala dengan kebijakan ini.
“Banyak proyek EBT dan ketenagalistrikan terutama hibah atau pinjaman dari luar negeri, justru presentasi TKDN tidak sesuai regulasi yang ada,” ujarnya dalam Rapat Kerja (Raker) di Komisi VII DPR RI, Senin (20/11).
Baca Juga: Pemerintah Minta Kepastian Masuknya Sampah Sebagai Sumber Bioenergi dalam RUU EBET
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengusulkan penambahan satu poin substansi aturan TKDN di RUU EBET. Pihaknya meminta agar pengutamaan produk dari dalam negeri mempertimbangkan sejumlah hal.
“Pertimbangan itu meliputi ketersediaan atau kemampuan dalam negeri, harga energi baru/energi terbarukan yang tetap kompetitif, dan pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan EBET,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Arifin menyatakan, poin tersebut merupakan tambahan yang perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut untuk disepakati.
Menteri ESDM menyatakan, pengaturan TKDN sangat penting tetapi juga perlu mengukur kapasitas dan kemampuan sendiri (dalam negeri). Dia mengingatkan, jangan sampai aturan ini menghambat dan membuat biaya pengembangan EBT menjadi tinggi.
“Untuk itu kita perlu juga melihat roadmap masing-masing industri itu, kesiapannya untuk TKDN kapan saja,” jelasnya.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin, Andi Rizaldi meminta penyederhanaan poin mengenai pengutamaan produk dan potensi dalam negeri (TKDN) untuk energi baru dan energi terbarukan yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (2a) (DIM 222-225) dan Pasal 39 ayat (2a) (DIM 351-354).
“Penyederhanaan itu menjadi pengutamaan produk dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perindustrian, sebab selama ini P3DN atau TKDN diatur oleh Kementerian Perindustrian,” ujarnya.
Andi menyatakan, pihaknya cukup memahami untuk menjaga ketahanan energi nasional dengan proyek EBT, memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dari pinjaman atau hibah luar negeri dari berbagai lembaga keuangan.
“Namun implementasinya harus tetap disesuaikan dengan regulasi TKDN,” jelasnya.
Oleh karena itu, berdasarkan rapat pembahasan 15 September 2023, terdapat usulan Revisi Permen No 54 Tahun 2012 yang mengatur TKDN, kemudian menambahkan ketentuan dalam PP 10 No 2011 dan Perpres 6 2018 yang memperbolehkan penggunaan peraturan lain apabila diatur dalam perjanjian pinjaman atau hibah.
Baca Juga: Ini Usulan Pemerintah Soal Power Wheeling yang akan Masuk dalam RUU EBET
Sejatinya ketentuan penggunaan produk dalam negeri sudah diatur dalam UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, produk dalam negeri wajib digunakan oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, dan perangkat daerah dalam pengadaan barang dan jasa jika sumber pembiayaan dari APBN, APBD, termasuk pinjaman dan hibah dalam negeri dan luar negeri.
Di dalam prinsip secara umum pendanaan internasional juga harus memperhatikan dan mengakomodir kepentingan dalam negeri dan kepentingan nasional.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto menyatakan, terkait kebijakan TKDN pihaknya mengingatkan jangan sampai menyebabkan ketergantungan baru terhadap produk impor.
“Ini untuk menjaga tingkat TKDN yang makin hari makin baik. Karenanya masukan fleksibilitas TKDN bahaya, tidak bisa fleksibel, harus jelas dan terukur,” ujarnya.
Menurutnya hal-hal apa saja yang perlu kelonggaran harus diatur secara definitif untuk menghindari pelaksanaan yang tidak terukur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News