kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Swasembada beras tidak menjamin kesejahteraan petani


Kamis, 13 Desember 2018 / 19:03 WIB
Swasembada beras tidak menjamin kesejahteraan petani
ILUSTRASI. Petani menanam bibit tanaman padi


Reporter: Kiki Safitri | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Empat tahun pemerintahan Joko Widodo berjalan, namun kedaulatan pangan masih jauh panggang dari api. Menurut koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), hal ini terlihat dari masih banyaknya jumlah petani yang tidak sejahtera. Padahal, petani merupakan aktor terpenting dalam rantai produksi pangan nasional.

Menurut dia, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada peningkatan produksi, tapiu juga pada perbaikan kesejahteraan perilaku usaha. “Menjadi aneh jika produksi dikatakan meningkat tapi kehidupan petani tidak berubah,” kata Said Abdullah selaku Koordinator KRKP, di Jakarta Selatan, Kamis (13/12).

Menurut Said, Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya merilis bahwa produksi beras tahun 2018 adalah 2,8 juta ton. Hal ini menandakan tercapainya swasembada beras di tahun ini. Di sisi lain, petani padi yang jumlahnya mencapai 17 juta keluarga seyogyanya menerima manfaat paling besar. Tapi, indikator kesejahteraan petani melalui Indeks Tukar Petani (NTP) dinilai tak berubah.

Dalam kurun waktu tahun 2012 hingga tahun 2016, terlihat NTP mengalami penurunan. Penurunan NTP ini selaras dengan terjadinya penurunan upah rill yang diterima buruh pertanian di mana pada tahun 2014 upah buruh tani adalah Rp 39.400 per hari dan di tahun ini upah buruh tani Rp 37.900 per hari.

Namun, masalah kesejahteraan petani ini semakin diperkeruh dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nnomor 27 tahun 2017 yang mengatur tentang penetapan harga acuan pembelian petani. Dalam hal ini pemerintah melakukan pembatasan harga jual di tingkat petani, padahal harga sedang bergeliat naik.

“Kemendag sangat powerful untuk mengatur harga yang kalau kita lihat itu sepihak dan tidak masuk akal. Kalau kita lihat dari kepentingan petani, ya itu powerless. Soal transmisi harga itu masih asimetris. Jika harga gabah naik maka sangat cepat beras naik. Tapi saat harga gabah turun apakah harga beras turun juga? tentu tidak,” kata Khudori seorang pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Menurut seorang petani asal Subang bernama Deni Nurhadiyansyah, dari tahun 2015 di Subang terjadi gagal panen. Ia menjelaskan bahwa kegagalan panen ini tak hanya karena badai Elnino, namun juga bermula dari program pemerintah upsus pajale (upaya khusus padi, jagung dan kedelai) di mana petani harus menanam tiga kali dalam satu tahun.

“Dari tahun 2015 petani tidak menikmati produksi. Kebanyakan gagal panen di Subang. Namun kita sudah menemukan solusi mengapa gagal panen dan cara mengatasinya. Kita didampingi peneliti dari IPB dan petani nusantara,” ungkapnya.

Upsus pajale ini menjadi penyebab gagal panen karena ia menilai dengan tiga kali tanam padi dalam setahun dapat menumpuk hama penyakit di sawah sehingga gagal panen terus terjadi kala itu.

Hal ini amat disayangkan padahal saat itu harga gabah mampu bersaing di angka Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kg. Ledakan hama wereng menyebabkan panen dan produksi menurun di bawah 50% dari biasanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×