kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Swasta harus gandeng petani kelapa sawit untuk hadapi ISPO


Kamis, 12 Mei 2011 / 09:25 WIB
Swasta harus gandeng petani kelapa sawit untuk hadapi ISPO
ILUSTRASI. ilustrasi anggaran


Reporter: Herlina KD | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Menjelang pemberlakuan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada tahun 2012 nanti, para pelaku usaha dan pemilik kebun kelapa sawit terus berbenah. Apalagi, selama ini sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih didominasi oleh perkebunan rakyat.

Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Soedjai Kartasasmita mengungkapkan, dari total luas areal perkebunan kelapa sawit nasional sebesar 7,5 juta hektare (ha), sebanyak 45% adalah perkebunan rakyat. Artinya, sekitar 3,5 juta ha adalah perkebunan rakyat. "Angka ini akan terus meningkat setiap tahun, sehingga porsi kebun milik petani rakyat semakin besar," ujarnya Rabu (11/5).

Pengamat pertanian Bungaran Saragih menambahkan, porsi petani plasma masih lebih kecil ketimbang petani swadaya. Menurutnya, petani swadaya mencapai 68% dari total petani sawit di Indonesia, sedangkan sisanya sebanyak 32% adalah petani plasma.

“Tapi, kemampuan petani rakyat untuk bisa mengelola kebun dengan baik masih sangat minim. Akibatnya produktivitas tanaman kelapa sawit kita masih rendah," katanya.

Sekadar mengingatkan, pemerintah akan segera memberlakukan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk seluruh perkebunan sawit di Indonesia. Sebagai awal, tahun ini pemerintah akan melakukan uji coba penerapan ISPO pada 20 perusahaan perkebunan di Indonesia. Targetnya, audit ISPO seluruh perkebunan sawit di Indonesia akan selesai pada tahun 2014 nanti.

Untuk menjadi perkebunan sawit yang berkelanjutan, maka setiap perkebunan kelapa sawit harus memenuhi setidaknya tujuh prinsip dan kriteria yang tercantum dalam ISPO. Misalnya, memenuhi sistem perizinan dan manajemen perkebunan hingga tanggung jawab sosial dan komunitas, pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.

Bagi perkebunan besar, kata Bungaran memang tidak sulit untuk menerapkan sertifikasi ISPO. Tapi, bagi petani rakyat, kemungkinan agak sulit untuk menerapkannya. Karenanya, perlu kerjasama dengan perkebunan besar sebagai partner untuk membantu petani mewujudkan ISPO.

"Kerjasama petani dan perkebunan besar bisa diwujudkan dalam pemberdayaan organisasi petani yang efektif dan efisien. kalau tidak, sangat sulit perbaiki industri sawit," jelas Bungaran.

Menurut Bungaran, saat ini tingkat produktivitas rata-rata tanaman sawit Indonesia hanya sekitar 3 ton per ha per tahun. Padahal, dengan perawatan kebun yang baik, menurut mantan menteri pertanian ini tingkat produktivitas tanaman kelapa sawit bisa meningkat menjadi 6 ton per ha per tahun. Artinya, untuk bisa meningkatkan produksi kelapa sawit, perlu ada peningkatan produktivitas. "Kita tidak perlu ekspansi, hanya butuh intensifikasi," jelas Bungaran.

Tak hanya itu, untuk meningkatkan produktivitas dan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, perlu dukungan lembaga riset atau penelitian. Soedjais mengakui, selama ini dukungan penelitian kelapa sawit di Indonesia masih sangat minim, misalnya dalam teknologi bibit unggul. Alhasil, banyak petani rakyat yang menggunakan bibit sawit yang tidak unggul, sehingga produksinya tidak bisa optimal.

Pajak dikembalikan ke petani

Soedjais bilang, pembinaan dan pengembangan petani rakyat sebenarnya bisa dilakukan dengan menggunakan biaya dari instrumen pajak ekspor. Seperti diketahui, selama ini pemerintah menetapkan bea keluar (BK) untuk ekspor CPO.

Ia bilang, harusnya pemerintah mengembalikan sebagian dana dari hasil BK CPO untuk pengembangan industri. "Jadi dananya ini nanti sebagian dikembalikan ke petani atau industri untuk kepentingan penelitian dan pendidikan ke petani," ujarnya.

Jika ini tidak dilakukan, Soedjais khawatir daya saing petani kelapa sawit nasional akan semakin tergerus. Untuk bisa meningkatkan daya saing, "Pendidikan petani itu penting sekali untuk R&D dan pengembangan infrastruktur," jelasnya.

Asal tahu saja, berdasarkan perhitungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, tahun 2010 lalu produksi CPO Indonesia diperkirakan sekitar 21 juta ton. Tahun ini, Gapki memperkirakan produksi CPO nasional akan mencapai sekitar 22 juta ton - 22,5 juta ton. Sedangkan untuk ekspor, Gapki memperkirakan tahun ini ekspor CPO Indonesia bisa mencapai sekitar 16,5 juta ton atau naik ketimbang tahun lalu yang sekitar 15,6 juta ton.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×