kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tak semua apartemen di Jakarta manusiawi


Kamis, 17 September 2015 / 07:32 WIB
Tak semua apartemen di Jakarta manusiawi


Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Konsep hunian vertikal memang menjadi solusi tepat bagi kota berjumlah penduduk tinggi dengan jumlah lahan yang terbatas seperti Jakarta. Sebelum Jakarta mulai diramaikan dengan banyaknya pembangunan apartemen dan rumah susun, Singapura sudah terlebih dahulu menerapkan konsep ini bagi penduduknya.

Pemerintah Singapura sudah mulai mengajarkan penduduknya untuk tinggal di hunian vertikal sejak 1960, dan pada era 1980 akhirnya penduduk negara ini terbiasa untuk tinggal di apartemen maupun rumah susun. Bila bercermin dari Singapura, Jakarta seharusnya punya tingkat efektifitas penghematan lahan yang hampir sama berhasil dengan Singapura. Karena bagaimana pun juga pembangunan hunian vertikal berupa apartemen dan rumah susun di Jakarta tak kalah ramai dengan di sana.

Namun menurut arsitek pimpinan Atelier Cosmas Gozali, Cosmas Gozali, hunian vertikal di Jakarta tetap memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan inilah yang turut menjadi penghambat proses peralihan masyarakat penghuni rumah tapak menjadi masyarakat penghuni hunian vertikal.

“Banyak pengembang lebih mengutamakan keuntungan besar dibanding pertimbangan akan hunian yang manusiawi. Contohnya banyak penjualan unit apartemen dengan luas hanya berkisar dua puluhan meter persegi berisikan dua kamar tidur. Padahal bila diperhitungkan dari sudut pandang arsitektur, luasan tersebut tidak cukup sebagai tempat tinggal untuk satu keluarga kecil sekalipun,” ungkap Cosmas kepada Kompas.com (16/9).

Hal yang menurutnya juga kurang manusiawi adalah bagaimana beberapa pengembang nakal menurunkan kualitas bangunan untuk menghemat biaya. Padahal ini juga berpengaruh pada keselamatan dan kenyamanan yang menjadi hak bagi pembelinya kelak.

“Karena terbentur dengan kebutuhan akan hunian yang semakin sulit didapatkan, daripada tidak mendapatkan rumah, masyarakat pun seakan tak bisa menolak dan tetap membeli hunian-hunian vertikal seperti itu. Dan akhirnya pengembang-pengembang itupun tetap meneruskan pembangunan hunian vertikal yang tidak sesuai standart karena tetap diminati masyarakat,” tutur Cosmas.

Cosmas menjelaskan, tidak semua pengembang melakukan cara tersebut untuk menghemat biaya dan meraih keuntungan lebih. Beberapa pengembang lainnya cukup sadar bahwa penghematan dapat dilakukan lewat hal-hal kecil seperti perancangan struktur yang tepat agar penggunaan material efektif, mengapresiasi produk-produk original agar desainer tidak perlu menaikkan harga produknya untuk mencegah plagiat, dan yang tak kalah penting adalah menghargai arsitek-arsitek lokal.

“Beberapa pengembang punya strategi pemasaran dengan menggunakan jasa arsitek asing untuk menarik minat pembeli. Padahal strategi itu justru menghabiskan dana yang lebih besar dibanding bila mereka menggunakan jasa arsitek lokal yang sama kompetennya dan sudah mengenal karakteristik konsumen Indonesia,” tutup Cosmas. (Nathania Hapsari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×