Reporter: Aprillia Ika |
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk memberlakukan tarif pajak spesifik untuk industri minuman keras dinilai pelaku usaha dan asosiasi sebagai hal yang kontraproduktif. Pasalnya, kenaikan pajak hanya akan berimbas pada tingginya harga minuman keras (miras), maraknya peyelundupan serta potensi hilangnya pemasukan negara.
Tarif pajak spesifik sendiri sejatinya merupakan tarif pajak tambahan diluar tarif pajak advalorum atau persentase dari harga jual. Seperti bea masuk dan pajak penjualan brang mewah (PPnBM).
Cara kerja pajak ini adalah, semakin tinggi kadar alkohol di dalam satu minuman, maka semakin tinggi pula tarif pajak spesifiknya. terutama, di daerah-daerah dengan tingkat konsumsi miras tinggi seperti di Bali.
Pemerintah sendiri berharap, dengan adanya pajak spesifik ini bakal mengurangi praktek nakal under invoicing atau pencantuman harga yang lebih murah yang sering dilakukan oleh distributor minuman beralkohol. Tapi, pendapat ini serta merta dibantah Yohan Handoyo, pemilik sekaligus General Manager Decanter Wine House.
Ia menyebutkan bahwa usulan pemerintah tersebut kontraproduktif disaat pasar wine regional justru berlomba menurunkan pajak."Saat ini, karena krisis global para produsen wine sudah emnurunkan harga dasar produknya sampai 45%. Sementara negara-negara seperti Hongkong menurunkan pajak cukainya sampai 0%," tukasnya.
Upaya Hongkong tersebut terutama untuk menggenjot pajak restoran dan pajak pariwisata. "Potential loss Hongkong dari turunnya pajak miras adalah sekitar 500 juta dolar Hongkong. Tapi potensi pendapatannya dari restoran, hotel dan pariwisata sebanyak dua setengah kali lipatnya," imbuh Yohan.
Jika hal ini berlanjut, pengusaha restoran seperti Yohan bakalan sulit emndapatkan pasoka miras legal. "Kondisi sulit ini bakal dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggungjawab," pungkas Yohan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News