Reporter: Herry Prasetyo, Maria Elga Ratri, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Seto Adi Satrio adalah konsumen setia layanan seluler dari PT Indosat Tbk. Sejak menggunakan telepon seluler 14 tahun lalu, karyawan perusahaan swasta di Jakarta yang tinggal di Bekasi itu tidak pernah berganti kartu dan operator seluler.
Makanya tak aneh, ketika anak usaha Ooredoo yang berbasis di Qatar itu mulai gencar mempromosikan layanan 4G LTE (long term evolution) yang disebut lebih kencang ketimbang 3G, Seto pun langsung tertarik. Kebetulan, spesifikasi smartphone pria berusia 29 tahun ini memang sesuai untuk jaringan 4G.
Singkat cerita, sekitar minggu terakhir Maret 2015 Seto menyambangi Galeri Indosat di Metropolitan Mal, Bekasi, untuk mengganti kartu SIM. Tapi apa lacur, jangkauan jaringan 4G LTE Indosat belum mencapai Bekasi dan lokasi kantor tempat ia bekerja. “Untuk mengganti kartu 4G, saya harus mengurus ke kantor pusat Indosat. Coverage area-nya pun belum luas. Baru dekat-dekat kantor pusat Indosat saja. Ya, sudah, jadi batal, deh,” kata Seto dengan nada kecewa.
Kekecewaan pengguna mobile internet macam Seto memang beralasan. Di tengah promosi luar biasa yang digeber para operator soal kedahsyatan teknologi 4G, terselip pasal syarat dan ketentuan, yang sayangnya justru tidak sejalan dengan esensi dari mobile internet; akses internet yang mendukung mobilitas pengguna.
Wilayah jangkauan jaringan 4G yang digelar semua operator masih sangat terbatas. Jika operator seluler berkoar-koar menggelar layanan, katakan di Surabaya, bisa dipastikan jangkauan jaringannya hanya ada di titik-titik tertentu yang biasanya berada di pusat kota.
Namun, sebagai barang baru, kondisi ini masih bisa dimak-lumi. Meski operator sudah menggelar ujicoba 4G sejak 2010 silam, unjuk gigi di depan publik yang dipublikasikan secara masif baru dilakukan kala perhelatan KTT APEC di Bali awal Oktober 2013 silam.
Akhir tahun lalu, barulah layanan 4G LTE secara komersial diperkenalkan. Itu pun masih dengan kondisi infrastruktur yang terbatas. PT Telkomsel, misalnya, saat meluncurkan layanan 4G komersial pada 8 Desember 2014, memiliki modal 200 base transceiver station (BTS) 4G di sebagian Jakarta dan Bali. Hingga awal April 2015, seiring dengan penambahan tiga kota baru, yakni Bandung, Surabaya, dan Medan, Telkomsel sudah memiliki 1.000 BTS 4G.
Sedangkan PT XL Axiata Tbk, yang merilis layanan 4G LTE secara komersial pada 19 Desember 2014 silam, langsung masuk ke sebagian kecil Medan, Yogyakarta, dan Bogor dengan modal sekitar 100 BTS. Akhir Maret 2015, anak usaha Axiata Group, Malaysia, itu merambah ke Bali bermodal 25 BTS 4G.
Di bulan yang sama, Indosat juga mengomersialkan layanan 4G. Cuma, akses internet super cepat itu baru tersedia di Jakarta, tepatnya sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat sampai Tosari. “Rencananya pada kuartal kedua akan dihidupkan juga 4G di Jogja dan Bali,” kata Adrian Prasanto, Head of Public Relations Indosat.
Di bawah standar
Bukan cuma soal keterbatasan jangkauan jaringan, kecepatan akses internet 4G yang diterima pengguna juga masih masih belum sesuai standar. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah penggunaan spektrum 900 MHz. Total lebar pita di frekuensi ini cuma 25 MHz. Itu pun harus dibagi tiga operator, yaitu Telkomsel (7,5 MHz), Indosat (10 Mhz), dan XL Axiata (7,5 MHz).
Bandwidth sesempit pun tidak digunakan semuanya untuk jaringan 4G. Sebab selama ini operator menggunakan frekuensi 900 MHz untuk menopang layanan 2G.
Indosat, ambil contoh, masih memprioritaskan sebagian besar sumber daya frekuensi 900 MHz untuk menopang layanan 3G. Sementara untuk 4G hanya dialokasikan 1 blok, yang lebar pitanya 5 MHz. “Makanya kecepatan 4G paling baru 35 Mbps. 3G masih lebih cepat, yang ready saat ini saja bisa sampai 42 Mbps,” kata Adrian.
Teknologi 4G membutuhkan spektrum minimal 15 MHz. Dan, prasyarat itu bisa dipenuhi oleh frekuensi 1.800 Mhz. Masalahnya, frekuensi ini masih belum berstatus netral dan tidak teratur. Pada frekuensi 1.800 MHz, lebar pita yang tersedia mencapai 75 MHz. Telkomsel menguasai 22,5 MHz, Indosat 20 MHz, XL 22,5 MHz, dan Tri 10 MHz. Namun sayangnya, blok frekuensi itu terpisah-pisah.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Setiawan menyebut frekuensi 900 MHz paling siap sebagai jalur 4G karena sudah tertata sejak awal. “Bisa dikatakan ini paket hemat karena pasti akan langsung penuh dan kecepatan akan turun karena bandwidth enggak lebar,” kata dia.
Sayangnya, kualitas 4G yang di bawah standar itu tidak pernah disampaikan secara terbuka oleh operator kepada konsumen. Padahal, kata pengamat gadget Herry Setiadi Wibowo, ekspektasi awal konsumen terhadap 4G sangat tinggi. Herry menyebut hal ini dipicu oleh promosi dan pencitraan berbagai operator sehingga muncul anggapan 4G yang diaplikasikan saat ini super cepat, stabil, dan bisa dinikmati di seluruh layanan operator. “Kalau konsumen datang dan bertanya ke gerai operator dijelaskan apa adanya. Tapi kalo tidak tanya, enggak ada penjelasan,” kata Herry.
Chief Technology Officer XL Axiata Ongki Kurniawan mengakui, layanan 4G di frekuensi 900 MHz memang tidak maksimal. Dus, pihaknya menantikan penataan frekuensi di 1.800 MHz sehingga bisa menggeber layanan 4G. “Kami juga tidak mau mengorbankan pelanggan yang masih pakai 2G di 900 MHz,” kata Ongki.
Hendri Mulya Sjam, Senior Vice President LTE Project Telkomsel, mengklaim, sudah menyampaikan apa adanya ke konsumen. “Telkomsel mungkin operator yang paling jujur yang selalu menyampaikan apa adanya,” klaim Hendri.
Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 29 - XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News