Reporter: Agung Hidayat | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kinerja industri tekstil dan garmen diproyeksikan tumbuh signifikan pada tahun ini. Syaratnya, memiliki daya saing dan mendapat perhatian pemerintah.
Salah satu dukungan yang dibutuhkan oleh industri ini adalah bahan baku produksi dan penurunan tarif listrik. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, kepedulian pemerintah pada sektor manufaktur sangat diperlukan. "Soal penurunan harga listrik bagi industri belum jalan juga. Di industri tekstil antara 18%-25% energi yang digunakan berasal dari listrik," sebut Ade, Rabu (3/4).
Setali tiga uang dengan Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta, yang mempertanyakan kepastian tentang pembatasan impor tekstil. "Impor harusnya dibatasi hanya untuk produsen yang mengekspor seluruh produknya," pinta dia.
Redma menyebutkan, sepanjang tahun 2016, jumlah kain impor di Indonesia tercatat hampir 700.000, sedangkan industri hulu tekstil mengekspor kain sebesar 500.000 ton. "Jadi bisa dipastikan banyak sekali produk impor yang masuk ke pasar lokal," ujarnya.
Menanggapi masalah tersebut, Direktur Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka Kementerian Perindustrian Muhdori berjanji, akan mengkaji persoalan yang mendera industri tekstil dan garmen lokal seperti tarif listrik dan efek Amerika Serikat keluar dari kemitraan Trans Pasifik (TPP). "Pemerintah juga tidak alergi impor. Impor boleh, sesuai kebutuhan," kilahnya.
Meski demikian, Ade berujar, sampai kuartal satu tahun ini ekspor garmen Indonesia terus meningkat. Kenaikannya sekitar 3,8% atau senilai US$ 4 miliar. "Triwulan ke depan produk garmen bakal positif naik, tapi untuk tekstil cenderung turun," ungkap Ade.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dari Januari-Februari 2017, nilai ekspor garmen Indonesia US$ 1,26 miliar, naik 6,5% dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara ekspor produk tekstil tertekan 2,5% menjadi US$ 733 juta di Januari-Februari 2017.
Menurut Ade, banyak industri tekstil yang fokus menyasar pasar ekspor ketimbang dalam negeri. Padahal pasar dalam negeri memiliki potensi besar, yakni US$ 10 juta.
PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex punya pertimbangan, porsi pasar ekspor lebih gede ketimbang lokal yakni 60%. Saat ini, 50% bahan baku kapas masih impor, sedangkan dari dalam negeri berupa rayon poliester. "Bisnis Sritex di dalam negeri ada kenaikan tapi tidak sekencang ekspor," aku CEO PT Sri Rejeki Isman Tbk Iwan S Loekminto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News