Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tiga Wilayah Kerja (WK) yang dioperasikan oleh Subholding PT Pertamina Hulu Energi (PHE) telah mendapatkan persetujuan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Ditjen Migas Kementerian ESDM untuk mengubah skema kontrak dari gross split menjadi cost recovery.
Perubahan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025.
Tiga WK tersebut adalah Offshore North West Java (ONWJ), Tuban East Java (TEJ), dan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT).
Baca Juga: 3 WK Pertamina Hulu Energi (PHE) Dapat Restu Perubahan Skema Kontrak ke Cost Recovery
Sementara itu, dua WK lainnya, yaitu OSES dan Rokan, masih dalam proses finalisasi perpindahan ke skema cost recovery.
Menurut Benny Lubiantara, Deputi Eksplorasi Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas, migrasi kontrak ini diperlukan untuk menjaga keberlanjutan investasi di beberapa wilayah kerja.
"Jika tidak ada migrasi, pada 2025 bisa terjadi penurunan signifikan dalam kegiatan investasi, yang tentunya berdampak pada produksi," ungkap Benny pada Selasa (22/10).
Benny menjelaskan bahwa perpindahan skema ini dilakukan untuk menjaga keekonomian wilayah kerja, mengingat dengan Terms and Conditions (T&C) dari gross split yang berlaku saat ini, kegiatan investasi tahun depan menjadi tidak ekonomis.
Beberapa WK bahkan telah mengalami cash flow negatif saat masih menggunakan skema gross split.
Baca Juga: PHE WMO Hasilkan 11 Varietas Tanaman di Lahan Pesisir Bandangdaja
Dengan migrasi ke skema cost recovery, diharapkan kegiatan pengeboran menjadi lebih masif, sehingga ada peningkatan produksi dan penerimaan negara.
Di sisi lain, kontraktor seperti PHE juga dapat mencapai tingkat keekonomian minimum yang diharapkan.
Arya Dwi Paramita, Sekretaris Perusahaan PHE, menambahkan bahwa PHE berkomitmen untuk menjalankan operasional secara efisien dan berinvestasi besar untuk meningkatkan produksi, terutama karena blok-blok yang dikelola PHE umumnya merupakan lapangan yang telah beroperasi selama puluhan tahun.
Arya juga mengapresiasi dukungan pemerintah terhadap fleksibilitas skema bagi hasil yang mampu mendukung target perusahaan.
Migrasi skema ini menarik perhatian karena bertepatan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 13/2024 tentang kontrak bagi hasil gross split, serta keputusan terkait pedoman pelaksanaan dan komponen bagi hasil.
Meskipun skema gross split baru ini dianggap lebih sederhana dan kompetitif, beberapa wilayah kerja memilih untuk beralih ke cost recovery karena lebih menguntungkan dalam beberapa kasus.
Baca Juga: Pertamina Hulu Energi (PHE) Targetkan Reaktivasi 1.400 Sumur Idle Tahun Ini
Menurut Moshe Rizal, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), meski skema gross split baru memberikan fleksibilitas dalam persetujuan bagi hasil, keekonomiannya belum tentu lebih baik dibandingkan cost recovery, tergantung pada risiko masing-masing lapangan.
"Setiap wilayah kerja punya hitungannya sendiri, dan jika cost recovery lebih menguntungkan, tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya," ujarnya.
Skema gross split memiliki keunggulan seperti pendapatan yang dibagi antara pemerintah dan kontraktor tanpa berbagi risiko biaya produksi, sementara skema cost recovery memungkinkan pembagian risiko antara kedua pihak, meskipun membutuhkan klasifikasi biaya yang lebih ketat untuk menghindari potensi mark-up dari kontraktor.
Dengan perpindahan ini, diharapkan PHE dapat meningkatkan kinerja dan mendukung ketahanan energi nasional secara berkelanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News