Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Gasifikasi batubara dapat dijadikan sebagai opsi pengganti gas untuk industri pupuk. Gasifikasi batubara disebut-sebut dapat mengurangi ketergantungan industri pupuk terhadap pasokan gas.
"Hanya saja harganya masih mahal, sekitar 30% di atas harga gas," ujar Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Tony Tanduk, Jumat (26/8).
Berdasarkan data studi MARKAL, biaya investasi untuk membangun pembangkit berbasis gasifikasi batubara membutuhkan sekitar US$ 2.132 per kW. Nominal itu jauh lebih tinggi ketimbang biaya investasi PLTU batubara konvensional yang membutuhkan sekitar US$ 1.250-US$ 1.520 per kW.
Gasifikasi batubara (integrated gasification combined cycle/IGCC) merupakan salah satu teknologi batubara bersih yang masih pada tahap pengembangan. Teknologi itu berprinsip mengubah batubara menjadi gas yang mudah terbakar.
Secara finansial, pembangkit listrik yang menggunakan konsep gasifikasi batubara itu memang membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal ketimbang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara konvensional.
Namun, untuk pembangkit berkonsep gasifikasi batubara dengan kapasitas lebih dari 400 MW disebut dapat bersaing dengan biaya PLTU batubara konvensional. Sementara pembangkit berkapasitas lebih kecil dari 200 MW akan lebih mahal ketimbang PLTU batubara konvensional.
Tony mengakui, gasifikasi batubara itu belum dapat diterapkan karena masih menjalani penelitian. Jika berhasil, sebenarnya gasifikasi batubara dapat mengoptimalkan pasokan gas industri pupuk yang kebutuhannya melebihi 1000 MMSCFD.
Apalagi, pemenuhan kebutuhan gas baru 80%. Porsi itupun hanya mampu dapat digunakan untuk periode 10 tahun. Padahal, industri membutuhkan kepastian pasokan gas untuk 20 tahun.
Dirjen Industri Berbasis Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto ikut mengutarakan, pasokan gas memang menjadi masalah utama pada industri pupuk. "Soal jumlah dan pasokannya yang menjadi kendala ekspansi," ucapnya.
Hal tersebut terbukti pada PT Pupuk Sriwidjaja (Holding) yang berniat membangun dua pabrik baru, tapi masih terkatung-katung menunggu kepastian pasokan gas. Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Holding) Arifin Tasrif menyebut, permodalan bukan menjadi penghalang pembangunan dua pabrik di Gresik dan Cepu yang direncanakan awal 2012.
Sebab, banyak perbankan pelat merah yang menaruh minat untuk mendanai proyek senilai Rp 10 triliun-Rp 11 triliun itu. Kalaupun sulit, badan usaha milik negara (BUMN) pupuk itu bisa menerbitkan obligasi yang besarannya sekitar 70% dari kebutuhan biaya investasi. "Tapi semuanya baru bisa dilakukan kalau sudah ada kepastian pasokan gas. Kalau tidak ada gas, buat apa pinjam bank atau terbitkan obligasi," tutur Arifin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News