Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menolak program wajib sertifikasi Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability (CHSE) yang akan diterapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono menegaskan, penolakan tersebut mengacu pada rencana sertifikasi mandiri CHSE yang akan bertaut dengan sistem perizinan Online Single Submission (OSS) bagi industri pariwisata, termasuk bagi sektor hotel dan restoran.
Dia pun membeberkan sejumlah alasan mengapa pihaknya menolak rencana tersebut. Pertama, wajib sertifikasi CHSE secara mandiri justru bertentangan dengan upaya pemulihan (recovery) bisnis hotel dan restoran yang sudah terpuruk akibat pandemi covid-19. Sebab, biaya yang dipikul oleh pelaku usaha bukan hanya untuk sertifikasi saja, melainkan juga pada saat persiapan guna memenuhi persyaratan (ceklis) dari program tersebut.
Misalnya saja untuk membuat atau memperbaiki fasilitas cuci tangan, pemasangan sticker-sticker kebersihan dan prokes, serta penambahan fasilitas lainnya. Dalam hal ini, bukan hanya restoran besar atau hotel berbintang saja yang menjadi bahan pertimbangan, namun juga kemampuan restoran skala kecil serta hotel non-bintang.
Baca Juga: Menaker Ida Fauziyah tegaskan bantuan subsidi upah tak dikenai potongan
Sutrisno menggambarkan, biaya yang harus dikeluarkan oleh hotel non-bintang untuk memenuhi ceklis sertifikasi CHSE bisa mencapai Rp 10 juta-Rp 15 juta. Padahal, kondisi bisnis sektor restoran dan hotel sedang mati suri dan tengah berusaha untuk bangkit kembali.
"Kalau kemudian (CHSE) ini diwajibkan tentu sangat memberatkan. Jadi dari PHRI DKI Jakarta menolak jika CHSE diwajibkan, kami menginginkan hal itu dilakukan secara bertahap. Nanti kita cari solusi terbaik, supaya tidak menjadi beban bagi industri yang sedang merangkak untuk bangkit," ungkap Sutrisno dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Senin (27/9).
Kedua, penerapan sertifikasi CHSE tidak berdampak besar terhadap pemulihan pasar atau kenaikan tingkat kunjungan. Pelaku usaha, sambung Sutrisno, membutuhkan kebijakan dan insentif yang bisa mengakselerasi pemulihan pasar di sektor pariwisata, khususnya restoran dan hotel.
Dia menjelaskan, pada masa kasus covid-19 melonjak dan PPKM ketat diberlakukan hingga Agustus, tingkat okupansi hotel hanya 10%-20% saja. Kasus covid-19 yang sudah lebih terkendali dan adanya pelonggaran PPKM memang membuat bisnis restoran dan hotel mulai merangkak naik.
Namun, pertumbuhan tersebut belum signifikan untuk mendongkrak usaha. "Masih jauh dari kondisi normal, kami masih babak belur, untuk bisa menutup variable cost aja masih sulit. Setelah (sertifikasi CHSE) juga nggak mengalami peningkatan tamu, dan tamu pun nggak menanyakan soal itu. Kami mohon bantuan utamanya untuk meningkatkan demand," terang Sutrisno.
Baca Juga: Reformasi birokrasi kerek skor indeks efektivitas pemerintah, ini kata Moeldoko
Alasan ketiga PHRI menolak sertifikasi CHSE secara mandiri dan bertaut dengan izin OSS ialah karena sudah terlalu banyak sertifikasi yang harus dipenuhi pelaku usaha restoran dan hotel. Menurut Sutrisno, persyaratan ceklis yang harus dipenuhi di sertifikasi CHSE juga tak jauh beda dari sertifikasi lainnya, seperti sertifikasi usaha, sertifikasi laik sehat, sertifikasi profesi, hingga sertifikasi K3.
"Jadi kan sudah ada sertifikasi-sertifikasi lain, dan sebenarnya antara satu dan yang lainnya itu istilahnya 11-12 saja. Untuk itu lah kami berkesimpulan, meminta agar CHSE yang dikaitkan dengan OSS tidak dilaksanakan dulu," tegas Sutrisno.
Dia pun tak ingin, wajib CHSE secara mandiri ini pada ujungnya hanya mendatangkan keuntungan bagi penyelenggara survei saja, namun di sisi lain memberatkan pelaku usaha yang disurvei. "Sehingga jangan jadi semacam negatif sum game, sebuah permainan yang ujungnya negatif, ada transfer ekonomi dari suatu pelaku ke pelaku lain, tapi secara keseluruhan terhadap value added nasional malah negatif," ungkap Sutrisno.
Dia pun memberikan ilustrasi, menurut data BPS, jumlah hotel saat ini berkisar di angka 29.243 hotel. Dengan asumsi biaya sertifikasi mencapai Rp 10 juta, maka biaya yang ditanggung oleh pengusaha hotel sekitar Rp 292 miliar. Sementara itu, dengan asumsi jumlah restoran di seluruh Indonesia mencapai 118.069 dan biaya sertifikasi Rp 8 juta, maka pengeluaran dari pelaku usaha bisa mencapai Rp 944 miliar.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengungkapkan bahwa penolakan terhadap wajib CHSE mandiri yang bertaut dengan OSS juga datang dari pengurus PHRI daerah lainnya. Maulana bercerita, sertifikasi CHSE awalnya dibuat oleh Kemenparekraf pada tahun lalu untuk mengembalikan kepercayaan pasar terhadap pariwisata Indonesia di tengah pandemi.
Kemenparekraf pun membuat program sertifikasi CHSE gratis, tapi hanya untuk 15.000 paket yang ditujukan untuk 13 sektor usaha pariwisata. "Sementara kalau kita bicara hotel saja kan jumlahnya udah 30.000-an. Terus bagaimana sisanya? (Sertifikasi) CHSE ini juga kan expired setiap tahun, apakah Kemenparekraf mau menanggungnya?," terang Maulana saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (27/9).
Maulana juga menekankan bahwa mekanisme dalam CHSE sebenarnya tidak ada yang baru dalam standar usaha hotel dan restoran. Adapun untuk protokol kesehatan (prokes) covid-19, PHRI sudah membuat standar atau pedoman sejak awal pandemi. Pelaku usaha restoran dan hotel sudah memiliki standar prokes sejak 5 Maret 2020 dan telah diubah dua kali mengikuti ketentuan dari Kementerian Kesehatan.
Baca Juga: Waspada Covid-19 gelombang ketiga, infeksi virus corona akibat varian baru bertambah
"Jadi kalau CHSE mau dijadikan mandatory, itu buat apa lagi? dengan sertifikasi usaha saja, pelaku usaha restoran dan hotel sudah menerapkan itu semua (apa yang disyaratkan di sertifkasi CHSE). Kemudian diwacanakan masuk ke OSS, kalau sifatnya volunteer (sukarela) ya silakan saja," tegas Maulana.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, pihak Kemenparekraf belum menjawab permintaan konfirmasi dan pertanyaan dari Kontan.co.id.
Di sisi lain, di luar sertifikasi CHSE, pelaku usaha hotel dan restoran menyambut baik rencana pemerintah untuk kembali membuka kegiatan berskala besar seperti konser dan resepsi pernikahan. Hal ini diharapkan bisa mendongkrak pemulihan kondisi bisnis di industri hospitality. Namun dengan catatan, prokes ketat tetap diterapkan.
"Saya kira kami menyambut baik, terimakasih kepada pemerintah untuk pembukaan itu. Tapi sekali lagi, masyarakat juga harus taat prokes. kalau tidak, nanti terjadi peningkatan covid lagi, dan dampaknya bisa ditutup lagi," pungkas Sutrisno.
Selanjutnya: PHRI Jakarta tolak rencana sertifikasi CHSE bagi industri pariwisata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News