Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) secara beruntun dalam tiga tahun ini dinilai memiliki implikasi bagi industri hasil tembakau (IHT) legal di tanah air.
Menurut ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, saat ini IHT legal dalam proses penyesuaian akibat kenaikan tarif cukai yang eksesif selama tiga tahun berturut-turut. Apabila digabung, kenaikan rata-rata tertimbangnya selama tiga tahun itu mencapai 48%.
“Bahkan, untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I, kenaikannya mencapai 56,5%. Sementara, di saat bersamaan, pelaku IHT legal juga harus menghadapi pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi yang melambat. Itu berdampak menurunkan daya beli,” kata Henry dalam keterangannya, Senin (4/7).
Merujuk keterangan resmi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa dari sisi produksi dan penerimaan sampai bulan Mei 2022, IHT masih dianggap tidak bermasalah. Namun, bagi pelaku IHT legal, kondisi sebagaimana disampaikan Sri Mulyani tidak mencerminkan situasi sebenarnya.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Berpotensi Kembali Terkoreksi Tipis pada Juli 2022
Menurut Henry Najoan, dampak akibat kenaikan tarif dan pandemi Covid-19 bagi GAPPRI masih sangat terasa, yaitu produksi turun dan pasar tergerus oleh rokok ilegal yang semakin marak, sehingga omset anggota GAPPRI turun drastis.
“Hemat kami, dengan situasi itu seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang makin memberatkan kelangsungan usaha IHT legal. Sebagai alternatif, optimalisasi penerimaan Negara dari sumber lain, kami mendorong pemerintah berkomitmen mewujudkan ekstensifikasi cukai,” terang Henry Najoan.
Keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, dimana pemerintah melakukan penyederhanaan (simplifikasi) dari 10 layer menjadi 8 layer juga menjadi ancaman anggota GAPPRI.
Henry Najoan mengatakan, simplifikasi akan melemahkan daya saing yang ujung-ujungnya mematikan pabrikan menengah kecil, dimulai dari golongan yang dihilangkan layernya karena harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi.
Henry Najoan menambahkan, golongan yang naik ke atas, harus membayar cukai yang sangat tinggi, dan harga jual harus naik pada segmen yang sama yang membuat mereka harus menyiapkan modal yang besar. Selanjutnya, mereka juga harus bersaing dengan pabrikan besar yang sudah mapan.
Baca Juga: Kebijakan PPnBM DTP Dapat Mendorong Kinerja Industri Otomotif
“Ketidakmampuan bersaing dengan golongan besar akan membuat golongan menengah kecil gulung tikar,” ujar Henry Najoan.
Merujuk data GAPPRI, selama ini golongan menengah kecil berkontribusi besar dalam penyerapan bahan baku tembakau dari petani lokal. Dengan gulung tikarnya kelompok tersebut, akan membuat tembakau petani lokal tidak terserap tembakaunya.
“Kondisi ini semakin menegaskan bahwa petani tembakau akan menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari kebijakan simplifikasi dan penggabungan,” tegas Henry Najoan.