kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45928,35   -6,99   -0.75%
  • EMAS1.321.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Transisi Energi Terbarukan Secara Global Belum Terwujud


Kamis, 16 Juni 2022 / 15:47 WIB
Transisi Energi Terbarukan Secara Global Belum Terwujud
ILUSTRASI. Energi. REUTERS/Wolfgang Rattay/File Photo


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laporan Status Global Terbarukan (GSR) 2022 mengungkapkan transisi energi terbarukan secara global belum terwujud. Padahal, banyak negara telah menyatakan komitmennya untuk melakukan pemulihan dengan cara hijau pasca pandemi covid-19. Kondisi ini dinilai membuat dunia global tidak dapat memenuhi target iklim pada dekade ini.

"Meskipun bukti bahwa energi terbarukan adalah sumber energi yang paling terjangkau untuk meningkatkan ketangguhan dan mendukung dekarbonisasi, pemerintah dunia terus memberikan subsidi energi fosil. Gap antara ambisi dan tindakan negara memberi peringatan yang jelas bahwa energi transisi global tidak terjadi," kata Rana Adib, Direktur Eksekutif REN21 dalam siaran pers, Rabu (15/6).

Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) pada November 2021, tercatat 135 negara berjanji mencapai nol emisi gas rumah kaca pada 2050. Namun, hanya 84 negara yang punya target ekonomi yang luas untuk energi terbarukan, dan hanya 36 yang menargetkan 100% energi terbarukan.

Adib melanjutkan, untuk pertama kalinya sejarah KTT Iklim PBB, deklarasi COP26 menyebutkan perlu mengurangi penggunaan batu bara, tetapi gagal menyerukan target pengurangan baik untuk batu bara atau bahan bakar fosil. Sebagian besar peningkatan penggunaan energi global pada tahun 2021 dipenuhi oleh bahan bakar fosil, yang menghasilkan lonjakan emisi karbon dioksida terbesar dalam sejarah, naik lebih dari 2 miliar ton di seluruh dunia.

Baca Juga: Pentingnya Peran Migas dalam Transisi Energi dan Dukungan Insentif pada Sektor Hulu

Di sisi lain, meskipun sektor ketenagalistrikan mencatat rekor penambahan kapasitas energi terbarukan, 314,5 giga watt, naik 17% dibanding 2020 dan pembangkitan (7.793 terawatt-jam), namun catatan itu tidak mampu memenuhi peningkatan konsumsi listrik 6% secara keseluruhan. GSR 2022 memperjelas bahwa memenuhi target iklim akan membutuhkan upaya besar-besaran, dan bahwa momentum terkait Covid-19 telah berlalu tanpa dimanfaatkan.

Adib melanjutkan, tahunjuga menandai berakhirnya era bahan bakar fosil murah, dengan lonjakan harga energi terbesar sejak krisis minyak tahun 1973. Pada akhir tahun, harga gas mencapai sekitar 10 kali lipat dari harga 2020 di Eropa dan Asia dan tiga kali lipat di AS, yang menyebabkan lonjakan harga listrik di pasar utama pada akhir 2021. 

Invasi Rusia ke Ukraina memperburuk krisis energi yang sedang berlangsung, menyebabkan gelombang kejutan komoditas yang belum pernah terjadi sebelumnya yang sangat membebani pertumbuhan ekonomi global, mengguncang lebih dari 136 negara yang bergantung pada impor bahan bakar fosil.

Paruh kedua 2021 menunjukkan sebuah awal dari krisis energi terbesar dalam sejarah modern, yang diperburuk dengan invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022.

“Kenyataannya adalah bahwa, sebagai tanggapan terhadap krisis energi, sebagian besar negara telah kembali mencari sumber bahan bakar fosil baru dan membakar lebih banyak batu bara, minyak dan gas alam,” tutur Adib.

Adib melanjutkan, energi terbarukan merupakan solusi paling terjangkau dan terbaik untuk mengatasi fluktuasi harga energi.

"Kita harus meningkatkan pangsa energi terbarukan dan menjadikannya prioritas kebijakan ekonomi dan industri. Kita tidak bisa memadamkan api dengan lebih banyak api," kata Adib.

Baca Juga: Bisa Jadi Pembangkit Base Load, Pengembangan PLTP Perlu Jadi Prioritas

Dokumen GSR 2022 mengungkapkan, meskipun ada komitmen baru untuk aksi iklim, pemerintah masih memilih memberi subsidi untuk produksi bahan bakar fosil dan digunakan sebagai pilihan pertama untuk mengurangi dampak krisis energi. 

Antara 2018 dan 2020, pemerintah menghabiskan US$ 18 triliun atau setara 7% dari PDB global pada 2020 untuk subsidi bahan bakar fosil, dalam beberapa kasus sambil mengurangi dukungan untuk energi terbarukan (seperti di India).

Tren ini mengungkapkan kesenjangan yang mengkhawatirkan antara ambisi dan tindakan. Ini juga mengabaikan banyak peluang dan manfaat dari transisi ke ekonomi dan masyarakat berbasis terbarukan, termasuk kemampuan untuk mencapai tata kelola energi yang lebih beragam dan inklusif melalui pembangkitan energi lokal dan rantai nilai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×