kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bisa Jadi Pembangkit Base Load, Pengembangan PLTP Perlu Jadi Prioritas


Senin, 13 Juni 2022 / 20:21 WIB
Bisa Jadi Pembangkit Base Load, Pengembangan PLTP Perlu Jadi Prioritas
ILUSTRASI. Teknisi memeriksa saluran uap air panas dari separator di Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) . ANTARA FOTO/Reno Esnir/YU


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dinilai perlu jadi prioritas untuk dikembangkan guna mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT).

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, panas bumi memiliki cadangan yang besar, dan unggul dibandingkan jenis EBT lain.

"Panas bumi dapat menjadi baseload (beban dasar) karena tidak menghadapi masalah intermitensi. Selain itu, kita punya cadangan panas bumi cukup besar, sekitar 23,7 GW,” ujar Komaidi dalam siaran pers, Senin (13/6).

Komaidi mengatakan, pengembangan energi primer dari energi fosil ke EBT dengan menempatkan panas bumi sebagai skala prioritas tidaklah berlebihan. Dengan sumber daya yang besar seharusnya panas bumi menjadi potensi yang mendapatkan perhatian lebih. Apalagi, saat ini pemanfaatan dinilai masih jauh dari jumlah cadangan yang terbukti.

Baca Juga: Panas Bumi Dinilai Potensial Dukung Program Dekarbonisasi

Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,965 GW. Potensi terbesarnya ada di Pulau Sumatera, yakni sebesar 9,679 GW. Meski punya potensi terbesar, kapasitas terpasang PLTP di Sumatera baru mencapai 562 Megawatt (MW) atau setara 5,8% dari total potensinya. Artinya, masih ada sekitar 94% potensi yang belum digarap.

Sedangkan di Pulau Jawa,  potensi panas bumi sebesar 8,107 GW. PLTP yang terpasang baru berkapasitas 1.254 MW atau setara 15,5% dari potensinya. Selanjutnya, untuk Sulawesi, potensi panas bumi mencapai 3,068 GW. Namun, PLTP yang terpasang baru 120 MW atau 3,9% dari potensinya. Adapun di Nusa Tenggara, potensi panas bumi 1,363 GW dan kapasitas terpasang 12,5 MW. Sementara itu, Maluku memiliki potensi 1,156 GW, Bali 335 MW, Kalimantan 182 MW, dan Papua 75 MW. Belum ada kapasitas terpasang PLTP di keempat pulau tersebut.

Dalam RUPTL PLN 2021-2030, pembangkit EBT mencapai 20,9 GW atau 51% lebih tinggi dari energi fosil (thermal) sebesar 19,7 GW. Dari 20,9 GW itu, 10,4 GW dari PLTA dan 3,4 GW dari panas bumi.

"Saya kira justru ada potensi (panas bumi) untuk dapat ditingkatkan besaran targetnya, " kata Komaidi.

Pakar ekonomi energi dari Universitas Trisakti itu mengatakan, meskipun panas bumi memiliki cadangan besar, tidak mudah untuk memonetisasinya. Menurut dia, kunci utama dalam penbembangan semua jenis EBT termasuk panas bumi ada di PLN karena BUMN di sektoe ketanagalistrikan itu adalah pembeli tunggal atau monopsoni. Jika PLN tidak bersedia membeli dengan berbagai justifikasi, pengembang EBT tidak punya pilihan atau opsi lain untuk menjualnya.

"Salah satu upaya yang dapat dilakukan memberikan ruang agar pengembang bisa menjual listrik selain kepada PLN. Jika hal tersebut dapat dilakukan saya kira pengembangan EBT tidak hanya bergantung pada PLN,“ imbuh Komaidi.

Direktur Mega Proyek dan EBT PLN Wiluyo Kusdwiharto menjelaskan, pembangunan pembangkit EBT sangat menantang bagi PLN. Hal itu disebabkan oleh kondisi kelebihan pasokan yang dialami PLN. Dia optimistis dengan kerjasama para stakeholder dan para pihak, nantinya tumbuh permintaan (demand). Apalagi saat ini demand mulai tumbuh 8%.

“Sesuai prediksi kami, ke depannya akan tumbuh signifikan sehingga dapat mengakselerasikan pembangunan pembangkit renewable baru,” ujar Wiluyo, belum lama ini.

Menurut Wiluyo, panas bumi mendapatkan prioritas kedua untuk dikembangkan setelah PLTA. Dia menilai,tantangan pengembangan panas bumi yang paling terasa adalah dari sisi biaya. Untuk mengejar target RUPTL, PLN tidak bisa sendiri dan harus bekerja sama dengan pihak lain.

"Tahun 2030 pembangkitan renewable bisa meningkat 28 GW. Pembangunan geothermal kami alokasikan 3,4 GW. Butuh biaya yang sangat tinggi untuk bangun pembangkit sampai 2060. Kami buka pintu bagi pihak swasta untuk bangun bersama pembangkit-pembangkit renewable," ujarnya.

Baca Juga: Pengamat: Kebijakan Kelistrikan Perlu Diubah untuk Dorong Pembangkit EBT

Anggota Dewan Energi Nasional Perwakilan Industri Herman Darnel Ibrahim mengakui ada beberapa masalah yang dihadapi guna mengejar target EBT dalam bauran energi, antara lain teknis, regulasi dan koordinasi, serta pendanaan.

Menurut mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PLN (2003-2008) tersebut, solusi mengatasi masalah dalam pengembangan panas bumi tidak bisa mengandalkan satu insititusi.

Selain itu, potensi panas bumi yang besar pun dinilai bakal sia-sia jika tidak mampu dimonetisasi.

Menurut dia, Indonesia harus terus membangun science and technology panas bumi, tidak cukup hanya bangga punya potensi 40% dunia. Aspek regulasi pengembangan  panas bumi juga harus mendukung.

“Kumpulkan seluruh aturan, pusat- daerah, Kementerian  ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Keuangan. Perbaiki semua untuk kemudahan pembangunan panas bumi," pungkas Herman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×