Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Sengketa tata ruang yang terjadi di wilayah hukum provinsi DKI Jakarta per September 2013 sudah 10 kasus. Pelaporan kasus sengketa ini terjadi sekitar Agustus-September. Trennya akan terus meningkat seiring dengan banyaknya laporan yang masuk ke meja Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta.
Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Yulianto Widirahardjo, mengungkapkan hal tersebut dalam seminar bertajuk Hak Indormasi Publik Dalam Perencanaan Kebijakan Pembenahan Lingkungan Permukiman, Jumat (25/10), di Program Pascasarjana Fakultas Tekni UI, Salemba, Jakarta Pusat.
Menurut Yulianto, sepuluh kasus tersebut sebagian besar terkait dengan bangunan, di mana bangunan rumah atau gedung milik warga terkena penertiban atau dibongkar yang dilakukan oleh Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) karena menyalahi peraturan dan atau terkena pembangunan fasilitas publik. Yang terakhir kerap terjadi seiring getolnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menambah fasilitas publik berupa ruang terbuka hijau (RTH).
"Kasus sengketa tata ruang ini menunjukkan tren meningkat dalam beberapa bulan ke depan. terutama jenis kasus pertanahan akibat konversi tata ruang. Saat ini laporan masyarakat yang masuk ke KI sangat gencar. Kasus terbesar datang dari Jakarta Barat. Kami masih memroses kelengkapannya dan memverifikasi akurasi datanya sehingga menjadi laporan yang utuh," ungkap Yulianto.
Sejak lembaga Komisi Informasi ini berdiri pada 2012, mereka telah menerima 20 kasus sengketa tata ruang pada tahun yang sama. Jenisnya adalah pembongkaran bangunan, konversi tata ruang dan lain sebagainya. Dari sejumlah kasus tersebut, terbesar adalah "Kasus Paseban" di Senen, Jakarta Pusat.
Kasus ini sampai masuk dalam tahap yudikasi dengan hasil akhir pihak Kelurahan Paseban harus melakukan mutasi nama yang tertera dalam akta tanah maupun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) warga yang terlibat kasus.
"Sisa kasus lainnya hanya sampai mediasi. Nah, dengan kecenderungan peningkatan kasus tata ruang, harus ada satu solusi yang bijak. Penanganannya harus adil dan tuntas," ujarnya.
Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Sarwo Handayani, menanggapi kasus sengketa tata ruang ini sebagai dinamika dan konsekuensi dari pembangunan kota.
"Jakarta magnet bagi penduduk Indonesia. Perubahan dan pembangunannya belum selesai dan akan terus berlanjut. Separuh ruangnya diisi permukiman. Dengan lahan terbatas, pertumbuhan kawasan menjadi tidak teratur. Di beberapa tempat terbangun dengan kualitas baik, namun di beberapa tempat lainnya terjadi penurunan kualitas lingkungan. Dengan begitu, sengketa mungkin terjadi dan tidak terelakkan. Namun, kami selalu transparan dalam memberikan informasi kepada publik terkait kebijakan tata ruang," ujar Sarwo.
Pemprov DKI Jakarta, lanjut Sarwo, tengah bekerja melaksanakan amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Mengacu pada undang-undang itu, DKI Jakarta harus memiliki RTH sebesar 30% dari luas wilayahnya. Oleh karena itu, sengketa tata ruang akan selalu muncul karena akibat dari implementasi kebijakan ini.
"Kami mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun guna memroduksi lebih banyak lagi RTH di ibukota ini. Yang ada sekarang masih sekitar 14%. Bisa jadi, jika peruntukan wilaya A, misalnya merupakan zona kuning (perumaha), diubah menjadi zona hijau, karena penurunan kualitas lingkungan. Sebaliknya, zona kuning bisa berubah menjadi merah. Semua kebijakan terkait tata ruang ini sudah kami informasikan kepada publik melalui situs resmi kami," jelas Sarwo. (Hilda B Alexander/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News