kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ukuran kapal jadi patokan pungutan hasil tangkapan


Kamis, 19 November 2015 / 11:11 WIB
Ukuran kapal jadi patokan pungutan hasil tangkapan


Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Kurang dari satu bulan lagi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berlaku. Hanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih memperjelas aturan itu agar pelaksanaannya tak bermasalah.

Beleid anyar tersebut bakal berlaku 7 Desember 2015 atau 60 hari setelah aturan tersebut diundangkan pada 7 Oktober 2015 lalu. Saat ini, KKP sedang memperjelas poin terkait kriteria Pungutan Hasil Perikanan (PHP) lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dalam PP No. 75/ 2015, hanya dijelaskan tarif PHP akan ditetapkan berdasarkan usaha perikanan, yakni usaha skala kecil kena 5%, usaha skala menengah 10%, dan usaha skala besar sebesar 25%. Namun, aturan ini berpotensi tak bisa diterapkan lantaran ketiadaan kriteria jenis kapal penangkap ikan yang digunakan tiap usaha perikanan.

Narmoko Prasmadji, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP menjelaskan, tarif PHP tidak akan diterapkan sama untuk setiap skala usaha. "Kalau ditentukan tarif flat berbahaya. Nanti yang skala kecil harus membayar sama dengan yang besar," ujarnya, Rabu (18/11).

Karena itu, dalam Permen  nanti akan dikelompokkan kapal penangkap ikan dan kapal pendukung dalam tiga kategori: skala kecil, skala menengah, dan skala besar.

Meski opsi ini masih digodok dan belum final, tapi usulan yang berkembang adalah untuk usaha perikanan kecil, ditetapkan jenis kapal yang digunakan di bawah 30 Gross Ton (GT), usaha menengah 30 GT−50 GT, dan untuk usaha skala besar di atas 50 GT.

Penetapan kriteria ukuran kapal ini penting karena PHP yang akan dibayar pengusaha menggunakan rumus persentase tarif dikalikan produktivitas kapal dan ukuran kapal. Dengan semakin besar kapal yang digunakan, maka PHP yang harus dibayar pengusaha juga semakin besar.

Yang jelas, Narmoko bilang, pemberlakuan PP No. 75/ 2015 yang merevisi PP No. 19/ 2006 ini bertujuan untuk mengurangi kegiatan illegal, unregulated, unreported (IUU) fishing. "Salah satunya adalah menetapkan tarif pungutan baru sesuai dengan kondisi saat ini," ujarnya.

Pengusaha keberatan

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kenaikan tarif PHP merupakan hal yang wajar. Apalagi saat ini, panen penangkapan ikan di laut Indonesia melimpah. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya pelaku usaha sanggup membayar kenaikan tarif PHP.

Menurut Susi, banyak keringanan yang didapat pelaku usaha. Misalnya, restrukturisasi selama dua tahun karena pinjaman dollar AS serta penundaan pembayaran utang ke bank. Pengusaha juga bisa meminta pengurangan bunga yang tadinya 10% menjadi 6%-7% karena restrukturisasi tersebut. "Ini semua bisa dimanfaatkan. Yang mau impor mesin tahun ini, bea masuknya 0%. Yang mau investasi di tahun 2016 bisa dapat pembebasan pajak," ujar Susi.

Meski begitu, pengusaha merasa keberatan. Dwi Agus, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) bilang, pengusaha mesti membayar dobel karena ukuran kapal juga dimasukkan ke rumus perhitungan tarif PHP. Padahal, peraturan sebelumnya, yaitu PP No. 19/ 2006 ukuran kapal tidak masuk dalam penghitungan.

Dwi menilai, kenaikan tarif PHP yang ditetapkan oleh KKP terlalu besar. Apalagi pengusaha ikan tuna butuh kapal besar. Ia mengusulkan ada kriteria skala usaha berdasarkan alat tangkap bukan kapal. Jika tidak, "Hasil tangkapan tuna sudah pasti akan menurun," ujar Dwi tanpa menyebut persentase penurunannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×