Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa dikabarkan menunda menerbitkan pedoman delegated act yang memasukkan kelapa sawit dalam kategori high-risk indirect land usage change (ILUC). Pedoman tersebut tertuang dalam perjanjian perjanjian renewable energy directive II (RED II) mengenai penggunaan bahan bakar nabati di UE.
Dalam interim ini, pemerintah Indonesia berniat membuka peluang dialog dengan memaparkan hasil studi yang menunjukkan sawit bukan risiko keanekaragaman hayati.
Direktur Eksektutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menyampaikan bahwa pihak Uni Eropa telah menunda menerbitkan delegated act yang sebelumnya diisukan akan terbit pada 1 Februari ini. "Alasan persisnya kami tidak tahu, tapi kami duga karena perkembangan yang terkait dengan kelapa sawit secara khusus," jelasnya, Senin (4/2).
Sebelumnya Staff Khusus Menteri Luar Negeri ini juga menyampaikan bahwa pihaknya siap melayangkan surat keberatan pada pihak WTO bila delegated act ini terbit karena disniyalir menjadi bentuk perlakuan dagang tidak adil untuk minyak kelapa sawit (CPO).
Apalagi, Uni Eropa telah memasukkan minyak kedelai Amerika Serikat sebagai kategori low risk sehingga komoditas tersebut bisa digunakan sebagai sumber bahan bakar nabati. Padahal dalam studi yang dilakukan oleh lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN), kelapa sawit justru lebih produktif menghasilkan bahan bakar nabati dibandingkan tanaman pangan lainnya.
Perhitungannya, untuk memproduksi 1 ton minyak nabati, diperlukan 1,43 hektar lahan bunga matahari. Sedangkan untuk mencapai volume sama untuk tanaman kedelai membutuhkan 2 hektar. Tapi untuk kelapa sawit hanya membutuhkan 0,26 hektar lahan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan, studi tersebut akan digunakan pihaknya untuk menepis tuduhan-tuduhan akan produksi kelapa sawit, terutama terkait laju deforestasi dan produktivitas.
"Kita akan bersama-sama, tentu saja, mengupayakan agar kelanjutan studi ini berjalan sehingga bisa dicapai kesepahaman yang positif antar berbagai negara di dunia dalam persoalan khususnya kelapa sawit dan aspek-aspek lingkungan," katanya.
Kemudian tak hanya melakukan kegiatan kampanye positif, Darmin menyampaikan pihaknya juga telah melakukan upaya penyelarasan data lahan melalui langkah moratorium sawit, perbaikan kualitas hulu dan hilir melalui penerapan ISPO serta melakukan Percepatan Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
"Kita tidak dalam situasi yang sangat terbatas sehingga berkembangnya kelapa sawit itu kemudian membuat tujuan lingkungan harus diabaikan," jelasnya.
Di sisi lain, Mahendra menyatakan pihaknya tetap berniat membawa sengketa ini ke WTO segera setelah Uni Eropa meratifikasi Delegated Act tersebut. "Tepat setelah mereka mengisukannya, kami akan sampaikan ke WTO," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News