kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Upaya pengendalian impor TPT dinilai belum intensif


Kamis, 06 Desember 2018 / 15:01 WIB
Upaya pengendalian impor TPT dinilai belum intensif
ILUSTRASI. Pekerja pabrik garmen


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Perintah Presiden Jokowi untuk menanggulangi defisit perdagangan dinilai oleh industri tidak ditindaklanjuti upaya serius dari jajarannya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menilai tidak ada kebijakan dari Kementerian terkait yang secara signifikan mengatasi permasalahan tersebut.

Data Kementerian Perdagangan RI (Kemendag) Januari-Oktober 2018 mencatat defisi perdagangan sebesar US$ 5,5 miliar. China dan Singapura merupakan mitra utama yang mencatat defisit masing-masing US$ 12,5 miliar dan US$ 6,6 miliar, sekaligus menggerus surplus pedagangan dengan Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Uni Eropa.

Redma menjelaskan bahwa perang dagang mengakibatkan opsi peningkatkan ekspor saat ini sangat terbatas, terlebih insentif bagi industri sangat minim, hingga sisi impor yang harus dimainkan.

“Alih-alih insentif untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, justru importir pedagang yang banyak menikmati insentif” terang Redma dalam rilis pers yang diterima Kontan.co.id, Kamis (6/12).

Redma menerangkan bahwa pemerintah sudah mempunyai Kawasan Berikat dan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) sebagai dukungan untuk mendorong ekspor bagi industri yang memerlukan bahan baku impor.

“Jadi PLB merupakan insentif over dosis, sehingga yang menikmatinya adalah importir pedagang untuk membanjiri pasar dalam negeri dengan barang impor, bukan eksportir yang memang selama ini sudah menggunakan fasilitas KB atau KITE” ungkap Redma.

Trade Remedies

Trade Remedies adalah salah satu cara untuk mengendalikan impor yang secara legal diijinkan WTO. Namun menurut Redma, justru dalam dua tahun terakhir ini banyak kasus yang telah direkomendasikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maupun Komite Pengaman Perdagangan Indonesia (KPPI) untuk dikenakan tambahan bea masuk justru mengalami kebutuan.

Padahal Presiden Jokowi dalam kebijakan paket ekonomi yang pertama telah mengintruksikan pengenaan trade remedies sebagai instrument pengendalian impor.

Dalam kasus PET Bottle, dimana KADI dan Tim Kepentingan Nasional telah merekomendasikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping sejak 3 bulan yang lalu, hingga saat ini belum bisa diimplementasikan hanya karena lobi satu perusahaan yang berkepentingan terhadap impor PET.

“Sikap pemerintah yang membiarkan praktik dumping barang impor ini disatu sisi menekan kinerja produsen dalam negeri sehingga terus merugi dan tidak bisa berkembang, disisi lain juga mendorong neraca perdagangan terus defisit” ungkap Redma.

Bahkan disektor tekstil pemerintah terus dibuat ragu oleh asosiasi yang berpihak kepada importir dengan berbagai macam dalih, padahal seharusnya asosiasi melindungi produsen dalam negeri dari praktik perdagangan unfair.

APSyFI meminta pemerintah untuk menidak tegas pelaku perdagangan unfair ini, sehingga kebijakan perdagangan menjadi pemeran utama dalam mendorong neraca perdagangan kembali postif. “janganlah kebijakan perdagangan menjadi penyebab defisit perdagangan” pungkasnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×