Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Chairman Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Bambang Brodjonegoro menyatakan, Indonesia harus melakukan negosiasi dengan pihak yang terlibat dalam skema kerja sama transisi energi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP). Khususnya perihal komposisi pendanaan yang masih didominasi utang karena nominal hibah masih sangat mini.
Asal tahu saja,berdasarkan pemaparan Kementerian ESDM sebelumnya, porsi hibah dari skema pendanaan JETP hanya US$ 160 juta dari US$ 20 miliar yang akan dimobilisasi pada 3-5 tahun ke depan. Artinya, porsi utang jauh lebih besar dibandingkan hibah yang dijanjikan.
Ada tiga masukan yang disampaikan eks Menteri Keuangan periode 2014-2016 ini terhadap pelaksanaan JETP.
Pertama, Bambang menyoroti dari sisi pendanaan. Dia bilang, Kementerian ESDM harus menegosiasikan porsi pendanaan di mana porsi pembiayaan ekuitas harus lebih besar dibandingkan pembiayaan utang.
Baca Juga: Pemerintah Indonesia dan Pimpinan IPG Bahas CIPP JETP di AS Pekan Ini
Pembiayaan ekuitas ialah proses peningkatan modal melalui penjualan saham di suatu perusahaan. Sedangkan pembiayaan utang ialah meningkatkan jumlah utang dengan cara menerbitkan surat utang jangka panjang, semisal obligasi atau surat utang lainnya.
“Jangan sampai, paling gampang, ada pinjaman nih bunganya sekian tetapi gampang diakses kalau proyek renewable. Nanti kita akhirnya jadi pembicaraan seolah-olah Indonesia mau transisi energi tetapi menambah utang,” ujarnya dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, di Jakarta, Senin (18/9).
Sejalan dengan ini, dia menilai, seharusnya porsi hibah dalam JETP harus ditambah karena bagaimanapun investor berminat masuk ketika ada dukungan atau jaminan dari pemerintah.
“Bisa berupa grant (hibah) supaya prosesnya mulus, itu yang penting dari sisi financing,” tegasnya.
Sebelumnya Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah meningkatkan porsi hibah minimal 10%-15% atau sebesar US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar dari JETP.
Poin kedua, ICEF mengusulkan agar pendanaan JETP dapat mengalir ke berbagai jenis pembangkit, tidak hanya untuk surya dan angin saja.
Bambang memaparkan, potensi tenaga angin di Indonesia terbatas hanya di beberapa wilayah saja. Begitu juga dengan tenaga matahari atau surya yang masih menghadapi beberapa hambatan berupa faktor cuaca dan kelembapan suatu wilayah.
Mengingat adanya keterbatasan di dua pembangkit itu, Bambang menyatakan, dana JETP bisa dengan adil didistribusikan ke pembangkit energi terbarukan lain seperti biomassa dan air (hidro). Kata Bambang, dua jenis pembangkit tersebut potensi energinya cukup besar di Indonesia.
Baca Juga: Kementerian ESDM Sebut Pendanaan AZEC Bisa Naik Hingga Miliaran Dolar
Poin ketiga, Indonesia perlu mempersiapkan transmisi untuk masuk ke era listrik hijau. Bambang menjelaskan, sifat listrik energi terbarukan berbeda dengan fosil seperti batubara dan gas.
“Kalau batubara sama gas kelebihannya, bahan bakunya bisa dapat dari wilayah lain. Misalnya batubara dari Kalimantan lalu dikirim untuk pembangkit di Jawa. Kalau tenaga surya, angin, hidro kan tidak bisa, listriknya harus yang dikirimkan,” terangnya.
Oleh karenanya, diperlukan pendanaan yang mumpuni untuk membiayai proyek transmisi antar pulau di Indonesia. Bambang melihat, dibutuhan investasi yang sangat besar untuk membangun sistem kelistrikan nasional.
Sebagai negara kepulauan, proyek transmisi membutuhkan dana yang besar karena akan banyak dibangun kabel bawah laut (submarine cable).
“Pendanaan untuk transmisi ini tidak kalah penting dan besarannya tidak kalah dengan energi transisi itu sendiri,” tandasya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News