Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Produsen pengolahan kakao mengeluhkan maraknya peredaran tepung kakao atau cocoa powder palsu di pasar domestik. Jumlahnya mencapai 72.000 ton per tahun. Selain menyebabkan omzet produsen tergerus, tepung kakao palsu ini bisa membahayakan kesehatan.
Kenapa begitu? Tepung kakao asli merupakan hasil olahan biji kakao yang telah melalui proses pengolahan secara industri. Sementara tepung kakao palsu merupakan hasil olahan kulit kakao. Menurut hasil penelitian akademis, kulit kakao tidak higienis karena mengandung zat kimia seperti bahan pembasmi hama.
"Peredaran tepung kakao palsu ini mulai marak sejak tahun lalu," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Aluisius Wayandanu, Selasa (17/2).
Produsen semakin khawatir setelah mengetahui produk palsu ini menarik minat masyarakat. Sebab, harganya lebih murah dari tepung kakao asli. Saat ini, harga tepung kakao asli Rp 14.000 per kilogram (kg). Sementara harga tepung kakao palsu cuma Rp 9.000 - Rp 10.000 per kg. Tak heran, produsen makanan olahan skala IKM sangat meminatinya.
AIKI telah menggelar investigasi untuk mengetahui besar peredaran tepung kakao palsu itu di pasar dalam negeri. Hasilnya, ada enam perusahaan berlokasi di Jawa Barat yang khusus memproduksi tepung kakao dari kulit kakao.
Dalam setahun, satu perusahaan mampu memproduksi 12.000 ton tepung kulit kakao. Jika ditotal, dalam setahun, produksi tepung kakao palsu enam perusahaan tersebut mencapai 72.000 ton.
Bandingkan dengan total produksi anggota AIKI yang mencapai 300.000 ton kakao. Sekitar 46% di antaranya diolah menjadi tepung kakao oleh 15 perusahaan. "Artinya, jumlah produksi tepung kakao palsu ini sangat besar," imbuh Aluisius.
Untuk membendung peredaran tepung kakao palsu ini, produsen meminta pemerintah menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk produk bubuk kakao.
Sebelumnya, produsen mengaku sudah menyampaikan keluhan ini ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ironisnya, produsen tepung kakao palsu justru memiliki izin edar setelah memperoleh kode makanan dari BPOM. "Saya sudah menyurati BPOM tiga kali, tapi belum ada tanggapan," ungkap Aluisius. Sayang, hingga tulisan ini kami buat, KONTAN belum mendapatkan konfirmasi dari BPOM.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News